aktivitas-kelasSalah satu masalah besar di sekolah kita adalah masih tingginya tingkat ketidakhadiran guru di kelas. Banyak kelas-kelas yang kosong karena ditinggal oleh gurunya entah karena sakit rutin, rapat ini dan itu, sedang ada jam mengajar di sekolah lain, ikut MGMP sambil arisan, mesti belanja di pasar, ikut pawai partai, melayat neneknya tetangga yang kena stroke dua tahun lalu, atau sekedar malas saja masuk ke kelas. Daftar alasan sangat variatif dan kreatif. Dan semua pihak nampaknya mafhum saja dengan situasi ini.

Sebuah penelitian pernah dilakukan dan ternyata tingkat absen guru di kelas cukup tinggi. Angkanya bahkan mencapai rata-rata 20%! Baru-baru ini dikabarkan bahwa banyak sekolah di Papua sana yang bukan hanya kelasnya yang kosong tapi bahkan sekolahnya kosong ‘rindu pendidikan’ karena para gurunya malas datang ke sekolah. Tingkat disiplin guru kita memang masih belum bisa dibanggakan dan masalah jam kosong masih belum merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius baik oleh Depdiknas, pengawas, kepala sekolah, dan bahkan oleh para guru itu sendiri. Bahkan siswa menganggap ketidakhadiran guru ke kelas mereka merupakan sebuah ‘berkah’ tersendiri yang patut untuk disyukuri.

Kalau tidak percaya coba saja masuk ke kelas dan sampaikan bahwa Pak atau Bu Guru tertentu yang semestinya mengajar jam itu tidak bisa masuk kelas karena ada acara lain dan siswa diminta untuk belajar sendiri (‘belajar sendiri’! How independent!). Saya berani bertaruh bahwa siswa akan melompat gembira sambil berteriak “Hip…hip… horay…! tiga kali. Kalau ruang kelas cukup luas saya yakin mereka akan menambahi dengan beberapa lompatan salto yang indah untuk menunjukkan betapa bersyukurnya mereka mendapat berkah kelas kosong tersebut. Ini kira-kira bisa sama nilainya dengan sebuah bangsa yang memperoleh kemerdekaan setelah bertahun-tahun dijajah.

Mengapa mereka begitu gembira? Entahlah! Anak-anak sekarang memang sulit dipahami. Tapi mungkin karena pelajaran yang kosong itu tidak penting-penting amat dirasakan oleh siswa (emang ada pelajaran yang dianggap penting oleh siswa?), guru yang tidak hadir itu membosankan cara mengajarnya, galak tabiatnya, tak mengesankan penampilannya, tonggos giginya, dll. Jadi ketidakhadiran guru dianggap lebih baik daripada kehadirannya. Bahkan tidak sedikit siswa yang sebelum berangkat dari rumah sudah berdoa lebih dahulu dengan khusuk agar guru ini dan itu yang mestinya mengajar di kelasnya hari ini dibikin sakit saja atau punya agenda lain di luar sekolah. “Kalau Engkau mengabulkan doaku ini, ya Allah! Aku akan bersedekah dengan mentraktir sahabatku pisang goreng di kantin. Amin!”

Adakah kepala sekolah atau guru yang prihatin dengan banyaknya kelas kosong di sekolah mereka? Ya tentu adalah! Sekolah-sekolah yang baik reputasinya selalu berupaya agar tidak ada jam kosong di sekolah. Sekolah-sekolah yang ‘kejam’ melarang para gurunya untuk sakit, apatah lagi melayat sanak famili yang meninggal. Guru boleh tidak masuk hanya kalau ia sendiri yang meninggal.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal tersebut? Ada dua hal yang bisa dilakukan, tindakan preventif dan kuratif (jam kosong ini kan macam penyakit sebetulnya). Tindakan preventif ada dua hal juga, dengan aturan atau dengan mengubah atmosfir sekolah. Membuat aturan juga ada dua, yang keras atau yang lunak, yang ‘top-down’ atau yang ‘bottom-up’. Yang ‘top-down’ juga ada dua, tertulis atau lisan … . Pokoknya semua hal bisa dibikin menjadi dua hal, semacam ‘Yin dan Yang’, Yoni dan Lingga, dst.
Sekolah di depan kampus saya membuat aturan bahwa pengajar yang terlambat masuk ke kelas atau pulang lebih awal maka honornya akan dipotong 25%! Siswanya juga ‘diprovokasi’ untuk memprotes guru yang tidak hadir dengan alasan apa pun. Kalau sakit harus ada surat dari dokter dan kalau ijin harus ada surat dari kelurahan (mungkin). Manajemennya bahkan membuat angket yang dibagikan pada siswanya untuk menilai para gurunya. Jika ada guru yang nilainya ‘jeblok’ di mata para siswa maka jangan harap ia akan bisa mengajar lagi semester depan. Ia akan di’DO’ oleh siswanya. Ini memang jaman yang radikal dimana justru guru yang dinilai dan dikeluarkan dari sekolah kalau kinerjanya buruk. Students rule! Tapi itu memang untuk sekolah swasta.

Jadi kalau Anda seorang guru PNS maka Anda sebenarnya termasuk ‘manusia setengah dewa’ karena tak ada mekanisme apa pun yang bisa membuat Anda dikeluarkan dari status PNS Anda meski Anda membolos seperti puasa Senin-Kamis atau bahkan seperti puasanya Nabi Daud, masuk sehari bolos sehari. Lha wong guru yang mengajar di Papua sana tidak masuk sekolah samasekali selama berbulan-bulan dan toh Dinas Pendidikannya tidak bisa berbuat apa-apa.

Sekolah lain yang ‘maqom’nya lebih tinggi mungkin lebih suka menggunakan pendekatan ‘mahabbah’ yang lebih menekankan pentingnya hubungan baik antara guru dan murid sehingga jika ada guru yang tidak masuk maka muridnya akan merasa sangat kehilangan. Murid-murid yang sudah terkena ‘jurus cinta’ guru seperti ini tidak akan rela kalau gurunya sakit atau berhalangan dan berharap agar pelajaran berlangsung seharian. Maklumlah! Namanya juga sudah ‘cinta’. Ini macam perasaan saya pada pelajaran olahraga waktu SMP. Begitu senangnya saya pada pelajaran olahraga (karena ini merupakan saat-saat pembebasan dari masa-masa penderitaan dan siksaan oleh pelajaran lain di kelas) sehingga hari dimana pelajaran olahraga (dan menggambar) sangat saya nanti-nantikan dalam seminggu itu. Kalau hari itu turun hujan (dan bisa dipastikan pelajaran olahraga akan digantikan dengan belajar teori olahraga di kelas atau sekedar senam di aula) maka saya akan sangat sedih dan setengah protes pada Tuhan. “Ya Tuhan! Kira-kira dikit dong! Masak hujan kau turunkan pas aku waktunya pelajaran olahraga! Mbok ya ditunda sebentar kenapa sih. Lagipula lapangan olahraga kami kan tidak butuh-butuh amat dengan air hujan. Tuh petani di daerah lain yang butuh.” Pokoknya seminggu itu saya akan ‘manyun’ menunggu pelajaran olahraga seminggu kemudian.

Balik ke pendekatan kuratif.
Karena jam kosong itu ibarat ‘sunnatullah’ di sekolah-sekolah kita maka sebenarnya sekolah harus menyiapkan juklak dan juknis untuk mengisi jam kosong di sekolah. Tapi apa yang ‘sebenarnya’ kan tidak berarti begitulah ‘fakta’nya. Selama ini tak pernah saya melihat ada sekolah yang punya peraturan yang jelas tentang bagaimana sekolah tersebut menyiasati jam kosong di sekolah. Kalau pun ada peraturan tersebut biasanya hanya berupa konvensi alias kesepakatan bersama yang tidak tertulis. Sekolah yang tertib biasanya menyediakan guru piket yang akan segera mengisi kelas yang kosong tersebut. Sungguh sangat beruntung siswa-siswa tersebut jika guru pengganti ini bisa mengisi jam pelajaran yang ditinggalkan dengan materi pelajaran yang sama. Artinya siswa tidak akan tertinggal materi pelajarannya karena pelajaran tetap berlangsung seperti yang telah direncanakan. Materi tetap disampaikan meski oleh guru yang berbeda. Tapi ini adalah kasus yang sangat langka karena jarang ada sekolah yang punya kebijakan semacam itu. Lagipula guru piket belum tentu mampu mengisi jam pelajaran yang kosong sesuai dengan mata pelajaran dan subyek materi yang ditinggalkan oleh guru yang berhalangan tersebut.
Jadi biasanya guru piket hanya masuk kelas dan siswa diminta untuk belajar sendiri. Guru piket hanya akan duduk manis di kelas menemani para siswa tersebut selama mereka ‘belajar sendiri’ tersebut. Apakah siswa benar-benar ‘belajar sendiri’ selama waktu itu? Sudahlah! Selama mereka tidak ribut dan mengganggu kelas lain maka apapun kegiatan yang mereka lakukan bisalah kita sebut sebagai ‘belajar sendiri’.

Karena sering bertugas sebagai guru piket maka saya juga sering masuk ke kelas dan menunggui siswa-siswa ‘belajar sendiri’ tersebut. Tapi lama-lama saya jadi bosan juga cuma bertugas sebagai ‘anjing herder’ di kelas. Ketimbang membiarkan para siswa ‘belajar sendiri’ saya biasanya lebih suka mengajak mereka berdiskusi.
Apa yang didiskusikan? Ya, macam-macam. Tapi biasanya saya mengambil topik dari hal-hal yang sedang terjadi pada saat itu.
Begitu ada kelas kosong dan saya diminta untuk mengisi maka saya segera menyambar tumpukan koran yang ada di kantor dan membawanya ke kelas. Di kelas koran itu saya bagi-bagikan dan sebisa-bisanya setiap anak mendapat satu koran lengkap dengan tanggal yang berbeda-beda.
Dengan koran itu saya bisa meminta mereka melakukan banyak hal. Saya bisa meminta mereka membaca koran tersebut dan meminta mereka menyampaikan satu berita yang paling menarik menurut mereka. Tentunya berita tersebut berbeda-beda pada setiap anak. Saya akan minta mereka menjelaskan mengapa berita itu menarik bagi mereka. Ini sebenarnya termasuk pelajaran ‘retell a story’ ditambah dengan ‘argument’. Anak yang suka dengan sepakbola biasanya memang mengambil berita ‘MU menggasak Liverpool” atau semacamnya.

Di kali lain saya akan minta mereka untuk menyusun daftar masalah apa yang diangkat oleh harian tersebut pada halaman pertama. Cukup topiknya saja (bukan judulnya). Jadi topiknya bisa berupa : masalah kesehatan, masalah krisis ekonomi, masalah terorisme, (penegakan) hukum, pendidikan, tenaga kerja, dll. Dari situ saya minta mereka untuk memilih dan menentukan topik yang paling hot untuk bulan lalu. Tentu saja mereka juga harus menyertakan alasan-alasannya.
Saya juga sering minta mereka untuk membedakan mana yang berita internasional, berita nasional, dan berita lokal. Apa yang sedang hot di dunia internasional, nasional dan lokal.

Kadang-kadang saya mengajak mereka untuk berdiskusi. Apa saja yang didiskusikan?
Kalau ada kasus hangat di koran ya itu yang saya angkat. Jadi kalau sedang ada pemadaman listrik bergilir karena PLN tidak mampu memenuhi permintaan yang melonjak maka saya minta siswa untuk bermain peran. Satu kelompok saya jadikan sebagai perwakilan PLN/pemerintah, satu kelompok sebagai perwakilan masyarakat, satu kelompok lagi saya jadikan sebagai perwakilan kelompok bisnis, dll. Saya minta mereka untuk menyampaikan aspirasi masing-masing. Untuk itu mereka harus berdiskusi dulu dengan satu kelompoknya apa hal-hal yang hendak mereka sampaikan pada forum. Saya sebisa-bisanya akan bersikap netral dan tidak akan menyampaikan pendapat saya. Kalau pun hendak mengarahkan maka saya biasanya menggunakan pertanyaan untuk menggiring mereka.

Mengajak siswa berdiskusi sebenarnya sangat menyenangkan, Jika topiknya sedang hangat siswa juga antusias untuk membahasnya. Kuncinya adalah meminta mereka untuk melihat permasalahn dari berbagai perspektif. Kalau ada kasus dimana siswa memukul guru maka topik itu juga bisa diangkat. Bagi mereka menjadi beberapa kelompok, ada yang jadi kelompok ‘perwakilan’ siswa yang memukuli guru, kelompok guru, kelompok orang tua, kelompok masyarakat, dll. Minta mereka untuk mendiskusikan mengapa mereka melakukan ini dan itu, bagaimana sikap mereka menghadapi masalah ini, dan yang penting adalah bagaimana agar masalah ini bisa diselesaikan dengan cara mereka. Biasanya siswa selalu akan bertanya pada kita sebagai gurunya untuk mendapatkan legitimasi untuk mendukung sikap mereka. Tapi sebaiknya kita memang tidak terlibat dalam diskusi mereka dan membiarkan mereka menyelesaikan sendiri karena itu akan membuat mereka tidak bebas menyampaikan pendapat mereka. Sampaikan bahwa pendapat merekalah yang lebih penting dan tugas kita hanya sekedar mengatur lalu-lintas diskusi.

Apa enaknya mengisi kelas kosong dengan cara seperti itu? Yang jelas mereka akan belajar untuk memahami apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Mereka juga akan belajar melihat permasalahan dari berbagai sisi, belajar menyampaikan pendapat, belajar bertanya dan menjawab, belajar menyimpulkan sesuatu, belajar menghargai pendapat teman dan orang lain, belajar melihat rangkaian dari sebuah masalah, latar belakangnya, kompleksitasnya, dll.

Setahu saya mereka belajar banyak dari diskusi tersebut dan yang paling penting adalah bahwa mereka menyukainya! Mereka bahkan berharap ada kelas kosong lagi dan saya bisa mengisi kelas mereka dengan diskusi lagi.

Suatu saat kalau saya sudah tidak punya kerjaan mungkin saya akan membuat sebuah buku ‘How to’ yang judulnya kira-kira “Bagaimana Mengisi Jam Kosong di Sekolah dengan Positif dan Menyenangkan”.
Apa kira-kira Anda mau membeli bukunya?

Balikpapan, 26 Desember 2008
Satria Dharma