Salah satu masalah terbesar dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia adalah masalah profesionalisme guru. Statistik tentang kelayakan guru mengajar sangat mencemaskan. Dari kualifikasinya saja sebagian besar guru-guru kita tidak layak mengajar. Itulah sebabnya pemerintah berusaha keras untuk meningkatkan kualifikasi mengajar mereka dengan anggaran pendidikan 20% tersebut.
Tapi itu baru sebagian dari masalah. Ada masalah yang juga sama besarnya tapi belum pernah dipikirkan solusinya secara sungguh-sungguh, praktek guru yang digaji fulltimer tapi bekerja parttimer. Selagi pandangan umum menyatakan bahwa profesi guru atau dosen adalah profesi yang paling sedikit penghargaannya dan paling kecil gajinya, banyak fakta yang menunjukkan bahwa jika dihitung-hitung sebenarnya guru di Indonesia justru dibayar terlalu tinggi karena jam kerjanya yang terlalu sedikit. Tak percaya?


Cobalah masuk ke sekolah-sekolah publik kita dan tanyakan berapa hari seorang guru bekerja dan Anda akan menemui kenyataan bahwa guru tidak datang ke sekolah setiap hari sebagaimana profesi lain. Mereka hanya datang jika ada jam mengajar dan itu bisa berarti kadang-kadang hanya 2 atau 3 hari dalam seminggu. Kalau pun mereka datang mereka juga tidak ‘fulltime’ mulai jam 8 sampai jam 4 sore seperti profesi lain, melainkan hanya pada saat mengajar saja. Dan itu bisa berarti beberapa jam saja.
Saya punya teman guru yang kebetulan jam mengajarnya hanya sedikit, 12 jam seminggu (ada yang lebih sedikit dari itu). Jangan berpikiran bahwa 12 jam itu 12 x 60 menit, tidak. 12 jam tersebut adalah 12 jam
pelajaran dan 1 JP adalah 45 atau 40 menit saja. Jadi kalau 12 JP sama dengan 12 X ¾ jam = 8 jam. Dan ia benar-benar hanya datang ketika ada jam mengajar saja yang sudah diatur agar bisa cukup dua hari saja dalam semingu. Selebihnya ia menjadi ‘ronin’ dengan mengajar dimana-mana.
Jadi meski resminya ia adalah guru PNS di sekolah dimana ia ditugaskan tapi ia justru lebih banyak di luar sekolah pada jam-jam kerja. Enak kan! Ia adalah guru tetap yang ‘tidak tetap’! Guru yang dibayar oleh
negara sebagai pekerja penuh waktu yang bekerja hanya paruh waktu. Tapi ia tidak sendirian. Saudara saya yang menjadi dosen di PTN ternyata lebih banyak nongkrong di rumah ketimbang di kampusnya. Alasannya sama, ia hanya wajib datang pada saat tugas mengajarnya yang ternyata hanya dua hari dalam seminggu.

Berdasarkan pemantauan saya ke berbagai daerah, praktek datang hanya pada jam mengajar ini ternyata merupakan praktek yang umum di mana-mana. Tak ada satupun sekolah menengah yang saya kunjungi
menerapkan jam kerja 40 jam seminggu sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan jam kerja PNS. Alasannya? Karena sudah merupakan ‘konvensi’. Praktek tersebut di’legal’kan karena alasan gaji guru/dosen kecil sehingga guru dan dosen ‘berhak’ dan diberi kesempatan oleh pemerintah untuk ‘moonlighting’ alias nyambi. Dan ini praktek yang dilakukan secara ‘nasional’ lho! Rasa-rasanya hanya di Indonesia guru PNS diperbolehkan untuk ‘moonlighting’. Tak ada praktek semacam ini terjadi di berbagai negara lain yang pernah saya kunjungi. Setiap guru sekolah hanya mengabdi pada satu sekolah secara penuh waktu. Berapa gaji teman saya sebagai PNS? Ia bilang bahwa gajinya sebagai PNS
itu kecil dan ia hanya terima sekitar 2 juta sebulan. Tapi kalau melihat kecilnya jam kerjanya maka sebetulnya gaji 2 juta tersebut terlalu tinggi. Seorang guru baru di Malaysia memperoleh gaji sekitar
4,5 juta jika kita kurskan ke rupiah. Para guru yang saya beritahu selalu berkomentar bahwa gaji guru Malaysia jauh lebih tinggi daripada mereka. Tapi ada fakta lain yang tidak mereka ketahui, Para guru di
Malaysia harus bekerja 40 jam seminggu. Benar-benar 40 jam seminggu mulai jam 8 pagi sampai dengan jam 4 sore. Persis seperti karyawan perusahaan lainnya. Jadi kalau dibandingkan sebenarnya gaji guru di
Indonesia jauh lebih tinggi ketimbang gaji guru di Malaysia. Gajinya memang tidak sampai 1/2 dari gaji guru Malaysia tapi jam kerjanya hanya 1/5. Hanya kepala sekolah atau pejabat struktural kampus yang datang setiap hari. Lainnya menikmati praktek ‘gaji fulltimer kerja parttimer’ ini. Enak kan! Guru-guru di Malaysia dan Singapura yang saya beritahu tentang praktek ‘moonlighting’ di Indonesia ini merasa heran dan tak habis pikir bagaimana praktek semacam ini bisa dilakukan dalam skala nasional. Kalau Anda mengira mereka akan berkomentar, :”Enak ya guru di Indonesia karena jam kerjanya sedikit.” Anda akan kecewa karena komentar mereka justru “Bagaimana sekolah nak berkualiti bila cik gu tak turun setiap hari? Siapa yang urus tu budak-budak?” demikian komentarnya.

Guru yang paling banyak jam kerjanya ternyata adalah guru SD. Mereka harus datang setiap hari karena sebagian besar dari mereka adalah guru kelas (meski di banyak sekolah sudah mulai menerapkan guru bidang studi sehingga praktek ‘moonlighting’ ini juga sudah masuk ke guru SD juga).
Dengan menjadi guru kelas mereka tidak mungkin tidak hadir tiap hari. “Siapa yang urus tu budak-budak?”.
Meski demikian jam kerja guru SD yang paling maksimal pun sebenarnya masih di bawah ketentuan kewajibannya. Rata-rata jam belajar SD hanya 5 – 6 jam sehari dan pada hari Jum’at lebih sedikit lagi. Para guru juga mendapat ‘cuti’ atau liburan yang jauh lebih banyak ketimbang PNS atau karyawan swasta lainnya. Dalam bulan puasa seperti ini libur sekolah bisa mencapai 40 hari! Itu belum lagi libur semester dan kenaikan kelas. Setiap kali siswa libur mereka juga libur. Kan sekolah tutup! Paling juga ada kerja piket beberapa hari.

Tapi bukankah tugas guru bukan hanya mengajar? Guru kan juga membuat persiapan, memeriksa pekerjaan rumah siswa, membuat laporan, ikut MGMP, dll…dll.. Itu semua harus dihitung dong!
Alasan yang bagus. Sayang sekali bahwa praktek itu cuma teori saja. Sangat jarang ada guru yang membuat persiapan mengajar dan hanya guru-guru di sekolah swasta yang bagus saja yang menekankan pentingnya persiapan bagi guru sebelum masuk kelas. Guru-guru di sekolah publik kita rata-rata tidak membuat persiapan, tidak memberikan tugas PR secara rutin (sehingga tidak ada yang perlu diperiksa kan?), tidak membuat laporan secara rutin, dan juga tidak mengikuti kegiatan MGMP secara rutin (lha wong kegiatannya sendiri nggak ada kok dan yang ada cuma kongkow-kngkow!).

Seorang teman yang mengajar di sekolah swasta prestisius dengan gaji yang cukup ternyata masih tertarik untuk menjadi guru PNS. Apa alasannya? Banyaknya waktu luang yang dimiliki oleh guru PNS! Dengan waktu luang tersebut ia merasa yakin dapat melakukan lebih banyak bagi perkembangan profesinya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan pendidikan di luar sekolah. Ini idealisme dalam bentuk lain memang tapi ini menunjukkan bahwa dengan menjadi guru PNS, walaupun gajinya lebih rendah, jam kerjanya lebih sedikit dan tuntutan profesionalismenya sangat rendah. Meski semua guru yang saya kenal mengakui adanya praktek ini dan tahu bahwa ini sebenarnya bertentangan dengan peraturan kepegawaian dimana mereka wajib bekerja di sekolah selama 40 jam/minggu, mereka tetap merasa bahwa praktek tersebut adalah wajar karena gaji guru itu kecil dan mereka tidak bisa hidup dengan hanya mengajar di satu sekolah. Lagipula kalau mereka tidak mengajar di sekolah swasta maka akan tidak akan ada guru yang bisa mengajar di sekolah swasta tersebut karena kurangnya guru di daerah. Selalu ada alasan kuat untuk melakukan praktek tersebut. Apa yang hendak Anda katakan untuk menghentikan praktek ini jika alasan yang diberikan adalah alasan perut dan demi ‘kemanusiaan’? Tak ada kepala daerah, apalagi kepala sekolah, yang berani bersikap tegas dalam hal ini karena ia akan dianggap tidak berprikemanusiaan alias ‘raja tega’ terhadap guru yang terlanjut dianggap bergaji rendah dan ‘tidak manusiawi’. Situasi ini nampaknya benar-benar dimanfaatkan oleh para guru untuk kepentingan pribadi mereka, meski sebenarnya mereka juga paham bahwa kondisi seperti inilah yang sebenarnya membuat kualitas pendidikan di negara kita semakin lama semakin merosot dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Kita mengalahkan sebuah kepentingan nasional, kepentingan bangsa dan negara, demi kepentingan perut yang tidak jelas argumentasinya. Sampoerna Foundation yang memiliki program peningkatan kualitas sekolah di berbagai di daerah menghadapi kesulitan dengan praktek ‘guru tetap dengan jam kerja tidak tetap’ ini. Bagaimana mungkin kita bisa menjadikan sebuah sekolah menjadi sebuah sekolah yang berkualitas dan setara dengan sekolah-sekolah berkualitas di negara-negara lain jika gurunya saja tidak dapat berkomitmen untuk benar-benar mencurahkan waktu dan kompetensinya kepada sekolah dimana ia mengajar? Sedangkan dengan mengerahkan semua waktu dan kapasitas kita untuk benar-benar berdedikasi ke sekolah kita mengajar saja belum tentu kita bisa bersaing dengan sekolah di negara lain yang sudah maju, apalagi dengan pola kerja yang ‘part timer’ seperti itu. Bahkan banyak guru enggan
menyisihkan waktunya untuk kursus atau pelatihan gratis demi peningkatan profesionalisme mereka. Pola pikir bekerja sesedikit mungkin untuk honor sebesar mugkin telah menjadi virus yang berbahaya pada guru-guru kita. Para kepala daerah dan kepala sekolah pun nampaknya tidak berdaya dengan praktek yang telah berlangsung lama ini. Di Malaysia dan Singapura, semua pekerjaan tambahan di luar tugas
mengajar tidak memberikan privilege bagi guru untuk pulang ke rumah dan mengerjakannya di rumah. Guru harus tetap berada di sekolah dan melakukan itu semua di sekolah. Jadi tidak boleh pulang lebih awal dengan alasan ‘lebih nyaman membuat persiapan di rumah. Soalnya disambi masak dan mengerjakan tugas rumah tangga lain’, umpamanya. Guru harus tetap berada di sekolah sampai jam kerja habis dan kalau mau mengerjakan tugas sekolah secara ekstra di rumah ya silakan. Guru bekerja secara penuh waktu di sekolah dan mengerjakan tugas-tugasnya di sekolah. Mau membuat lesson plan di sekolah, mengoreksi PR siswa ya di sekolah, membuat portofolio ya di sekolah. Pokoknya tidak ada alasan untuk pulang ke rumah lebih awal dari ketentuan jam kerja dengan alasan mengerjakan tugas sekolah.”It’s unprofessional’, kata mereka. Memang profesionalisme itulah yang tidak kita miliki di dunia pendidikan dan membuat kualitas pendidikan kita menjadi terus merosot dari tahun ke tahun. (Nilai UNAS yang naik dari tahun ke tahun tolong jangan dipakai sebagai patokan dalam menilai profesionalisme guru. “Kagak ade hubungannye.”) Dan itulah yang sedang diusahakan dengan dibuatnya UU Guru dan Dosen. Suatu tantangan yang sangat berat mengingat para guru justru tidak paham dengan tujuan dan tuntutan dari UU tersebut dan mengira bahwa tunjangan dan kesejahteraan bagi guru otomatis akan mereka peroleh begitu persyaratan formal seperti yang tertera dalam UU tesebut dapat mereka penuhi. Bagaimana dengan profesionalisme?
Mudah-mudahan jawabannya bukan “Kagak ade hubungannye.”

Balikpapan, 20 Oktober 2006
Satria Dharma