Dalam sebuah percakapan tiba-tiba seorang teman kepala sekolah bertanya pada saya: ”Kenapa Sampeyan kok menginginkan sekolah gratis termasuk bagi orang kaya? Apa nggak sebaiknya sekolah gratis itu bagi orang miskin saja?” ini pertanyaan yang sering ditanyakan dan juga sudah sering saya jawab tapi ternyata banyak orang yang belum juga paham, termasuk teman kepala sekolah tersebut.

Jadi saya jawab.

Pertama, itu bukan keinginan saya tapi keinginan bangsa kita semuanya. Itulah sebabnya klausul tentang sekolah gratis ini masuk dalam UU saking pentingnya. Indonesia telah merdeka selama lebih dari 60 tahun tapi masalah pembiayaan pendidikan dasar masih juga belum mampu ditangani oleh pemerintah. Padahal pemerintah seharusnya mengambil alih sebagian besar pembiayaan itu karena memang sudah merupakan tangungjawabnya. Bandingkan dengan bangsa-bangsa dan negara lain yang meski baru merdeka sudah mampu menganggarkan biaya pendidikan yang tinggi dan mampu menghilangkan pungutan di sekolah. Itu karena mereka betul-betul meyakini pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa dan negara dan tidak berwacana belaka. Kedua, semua rakyat tanpa diskriminasi memang berhak untuk memperoleh pendidikan dasar (SD dan SMP) berkualitas tanpa dipungut biaya karena memang seharusnya pemerintahlah yang membiayainya. Biayanya dari mana? Ya dari rakyat juga. APBN dan APBD yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah sebenarnya adalah uang rakyat yang diperoleh dari berbagai macam sumber dan paling besar sumber tersebut justru dari pajak yang ditarik dari masyarakat. Jadi uang itu sebenarnya juga uang rakyat yang dikelola oleh pemerintah.

“Tapi anggaran kita kan kecil dan tidak mampu untuk membiayai pendidikan seperti yang diamanatkan UU?”

Ya dan tidak. APBN kita memang seret dan mepet karena negara harus membayar cicilan hutang yang luar biasa besarnya sehingga memang sulit untuk menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan. Tapi untuk tingkat daerah tidak ada alasan karena pemda kita tidak punya hutang kepada negara atau daerah lain yang harus dicicil dari APBD-nya sehingga sepenuhnya APBD dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat langsung. Kesehatan dan Pendidikan Dasar adalah dua hal dan dua hak paling penting dari rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. APBD yang kecil juga bukan alasan untuk tidak memenuhi amanat UU tersebut karena banyak daerah yang APBDnya kecil ternyata mampu menggratiskan sekolahnya, bahkan sampai SLTA, seperti Jembrana, Enrekang, Sinjai, dan Musi Banyuasin, misalnya. Semestinya daerah yang memiliki APBD yang lebih besar dari daerah-daerah tersebut merasa malu karena belum mampu memberikan hak yang seharusnya diperoleh oleh rakyatnya.

“Tapi kenapa orang kaya juga harus menikmati pendidikan gratis? Kan tidak fair!”

Bicara soal adil tidaknya (fairness) sebenarnya orang miskinlah yang tidak berhak untuk memperoleh pendidikan gratis. Lho kok bisa? Bisa saja. Kan pembayaran pajak yang menjadi sumber anggaran kita justru berasal dari orang-orang kaya tersebut. Secara logika, semakin kaya seseorang semakin banyak juga pajak yang ditarik darinya sehingga kalau bicara soal ‘hak’ dan ‘fairness’ justru merekalah yang paling berhak untuk menikmati pendidikan gratis yang biayanya diambil dari pajak tersebut. Orang miskin sebetulnya justru hanya ‘ikut’ menikmati pemanfaatan pajak tersebut lha wong semakin miskin seseorang juga semakin sedikit pajak yang bisa disumbangkannya kepada negara. Bahkan orang miskin sebenarnya membebani anggaran sebuah negara karena harus selalu disubsidi macam-macam. Itulah sebabnya kemiskinan harus diperangi dan rakyat harus disejahterakan agar mereka tidak lagi harus disubsidi dan justru sebaliknya akan dapat mengeluarkan pajak bagi kas negara.

“Lantas bagaimana cara mensejahterakannya?

Ya melalui pendidikan. Semakin bermutu pendidikan di dalam sebuah negara semakin maju dan semakin makmur negara tersebut nantinya, dan sebaliknya semakin rendah mutu pendidikan suatu negara semakin miskin juga negara tersebut. Orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi mutunya memiliki kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh atau menciptakan pekerjaan dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan. Ini berarti orang-orang yang memiliki pendidikan yang bermutu tinggi juga akan memiliki kesempatan untuk lebih makmur kehidupannya ketimbang orang yang tidak berpendidikan. Itu sudah hampir menjadi suatu keniscayaan.
Jadi pendidikan gratis memang diperlukan agar orang-orang miskin dapat memperoleh pendidikan yang diharapkan berkualitas dan pada akhirnya akan dapat mengangkat derajat, martabat dan tingkat kesejahteraan mereka. Jika kelak mereka sudah semakin sejahtera maka mereka akan dapat dikenai pajak yang lebih tinggi agar pendapatan negara juga semakin bertambah dan negara menjadi semakin makmur. Kalau tidak ada pendidikan dasar gratis maka akan semakin banyak orang-orang miskin yang akan tetap miskin karena tidak mampu membiayai pendidikannya. Dan itu juga berarti negara akan semakin besar mengeluarkan subsidi nantinya yang artinya akan membuat negara semakin melarat. Semakin berat tingkat perekonomian rakyat semakin perlu pendidikan dasar gratis. Dan semakin makmur masyarakat semakin banyak biaya pendidikan yang bisa ditarik dan digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Semakin lama negara mengingkari amanatnya dibidang pendidikan akan semakin lama pula penderitaannya karena tidak akan mampu bangkit dari keterpurukan. Indnesia adalah contoh yang paling tepat.

“Bagaimana kalau untuk sementara yang kita gratiskan adalah orang-orang miskin dulu dan nanti belakangan orang kaya baru kita ikutkan?”

Ya tidak bisa karena itu namanya diskriminatif dan negara tidak boleh diskriminatif. Setiap warganegara berhak untuk memperoleh jaminan kesehatan dan pendidikan dasar sesuai dengan amanat UU. Tidak perduli apakah ia kaya atau miskin. Lagipula, seperti diterangkan diatas, anggaran yang diperoleh pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan kepemerintahannya adalah justru berasal dari pajak-pajak yang dikumpulkan dari orang kaya. Itulah sebabnya di negara manca, baik yang sudah maju ataupun yang masih baru bangkit macam Vietnam, siswa tidak membayar uang sekolah jika mereka bersekolah di sekolah publik alias sekolah-sekolah negeri, tidak perduli apakah ia anak orang termiskin di dunia, seperti pengakuan Hamdan Attamimi, atau ia anak orang terkaya di dunia, seperti Bill Gates. Jika masuk sekolah negeri ya tidak bayar. Kecuali kalau tidak puas dengan pelayanan sekolah negeri dan mau masuk sekolah swasta dengan biaya sendiri, ya silakan! Yang penting pemerintah dan negara telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan pendidikan bagi rakyatnya dengan pembiayaan sepenuhnya di sekolah-sekolah negeri tersebut. Lagipula, percayalah, orang-orang kaya sebenarnya tidak pingin sekolah gratis lha wong mereka mampu bayar sekolah yang mahal di swasta. Orang-orang miskinlah yang memerlukan sekolah gratis dan itulah yang kita perjuangkan, tanpa harus mengingkari hak yang dimiliki oleh orang-orang kaya. Dengan sendirinya nanti orang-orang kaya akan mencari sekolah swasta yang mutunya lebih tinggi dari sekolah negeri yang gratis tersebut, meskipun harus membayar biaya yang mahal untuk itu.

“Apa maksudnya gratis? Apakah semua biaya akan ditanggung oleh pemerintah?”

Tentu saja tidak. Tidak ada satupun negara didunia ini yang bisa menanggung semua biaya pendidikan warganya karena ada biaya-biaya yang masih harus ditanggung oleh orang tua seperti : biaya transportasi, pakaian seragam,  biaya buku dan alat tulis sekolah, perlengkapan sekolah, akomodasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus, iuran macam-macam, dan forgone earning. Masih begitu banyak! Semua ini masih merupakan biaya yang harus ditanggung oleh orang tua dan jumlah yang harus disediakan juga masih tetap besar bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang semakin lama semakin miskin ini. Dengan demikian meskipun sekolah sudah gratis orang tua masih tetap menanggung biaya pendidikan bagi anaknya yang tidak tercakup dalam BSP (Biaya satuan pendidikan) yang dikeluarkan oleh sekolah. Ini merupakan implementasi dari UU yang menyatakan bahwa (biaya) pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (yang diterjemahkan secara sempit sebagai orang tua disini).
Jadi kalau ada guru atau sekolah yang menyatakan bahwa kalau sekolah itu gratis sama artinya dengan orang tua tidak bertanggungjawab terhadap pendidikan anaknya adalah suatu kekeliruan besar (a big ignorance) atau mungkin suatu usaha pembodohan masyarakat.

Setelah menjelaskan hal ini kepada teman kepala sekolah tadi, ia lantas manggut-manggut dan berhenti bertanya. Mudah-mudahan ini pertanda baik bahwa ia semakin mengerti mengapa sekolah gratis itu perlu, dan tidak justru menentangnya.

Balikpapan, 12 April 2006
Satria Dharma

NB:
Ada satu alasan penting yang tidak saya masukkan dalam argumentasi saya pada tulisan di atas untuk menghindari perdebatan yang bersifat SARA, yaitu faktor agama yang dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Sekitar 85% bangsa Indonesia adalah umat Islam sehingga pendidikan gratis akan menguntungkan bagi umat Islam sebenarnya. Fakta juga menunjukkan bahwa tingkat perekonomian umat Islam masih jauh di bawah umat non-Islam sehingga bisa dikatakan bahwa umat Islamlah yang berada di kantong-kantong kemiskinan sehingga sekolah gratis sangat mendesak bagi kita. Umat non-Islam, terutama dari keturunan Cina yang kaya, tidak masuk ke sekolah-sekolah negeri tapi mendirikan sekolah-sekolah swasta berbiaya mahal. Sekolah gratis tentulah bukan untuk mereka tapi justru untuk umat Islam yang tidak mampu. Umat Islam perlu benar-benar memperjuangkan hal ini agar segera bisa bangkit dari kebodohan dan kemiskinan. Umat Islam yang merasa dirinya mampu juga harus memperjuangkan sekolah gratis ini karena sama artinya dengan membantu saudara-saudaranya sesama muslim yang tidak mampu agar dapat menikmati pendidikan sebagaimana saudara-saudaranya yang lebih mampu.