Mitos Malin Kundang, WikipediaAssalamu alaikum wr. Wb.
Saudara-saudaraku,
Menurut pendapat saya pendapat yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani adalah merusak akidah adalah hanya mitos. Mitos adalah sesuatu yang dipercaya sebagai sesuatu yang benar tanpa adanya bukti-bukti dan fakta-fakta. Mitos itu lebih berdasarkan asumsi yang dipercayai tanpa diteliti dengan sebaik-baiknya lebih dahulu yang kemudian dibesar-besarkan sehingga menjadi pendapat umum. Begitu juga pendapat ucapan selamat natal dalam mainstream Islam. Bagaimana untuk membuktikan bahwa ini cuma mitos? Mudah saja. Coba cari bukti tentang adanya orang yang rusak akidahnya karena mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani. Cari satu saja sebagai bukti dan setelah itu baru kita bisa katakan bahwa ternyata terbukti ada orang yang rusak akidahnya karena mengucapkan selamat natal kepada temannya yang nasrani.
Tentu saja kita tidak akan dapat menemukan satupun karena kita tidak punya alat ukur dan kewenangan untuk menentukan apakah seseorang rusak akidahnya atau tidak karena sebuah ucapan selamat. Tidak di jaman Rasulullah tidak pula di jaman sekarang. Saya telah mengucapkan selamat natal selama bertahun-tahun kepada teman-teman Nasrani saya dan saya samasekali tidak pernah merasakan adanya kerusakan pada akidah saya. Lagipula emangnya ada ‘alat ukur kerusakan akidah’?

Tapi apakah sebenarnya tindakan atau perbuatan yang bisa kita nyatakan sebagai merusak akidah? Akidah secara umum saya nyatakan sebagai keyakinan kita kepada Tuhan yang Maha Esa. Jadi kalau saya mencampuradukkan keyakinan saya kepada Allah swt (tawhid) dengan keyakinan adanya Supreme Being yang sama berkuasanya dengan Allah SWT maka dapat dianggap bahwa akidah saya sudah rusak. Kepercayaan (sebagian) umat Nasrani yang menyatakan Yesus sebagai Tuhan yang sama berkuasanya dan sebanding dengan Allah SWT, sebagai penciptanya, dianggap oleh umat Islam sebagai kemusyrikan besar. Umat Islam yang mempercayai, atau ikut-ikutan mempercayainya dengan pikiran, kata-kata, ataupun tindakan, dianggap sebagai rusak akidahnya. Umat Islam sangat ketat, zero tolerance, dengan masalah yang satu ini.

Tapi apakah kita bisa menilai keimanan, keyakinan, atau kepercayaan seseorang pada Tuhan dari ucapan atau perkataannya? Tentu saja tidak. Tapi celakanya hampir semua umat islam (mainstream) tiba-tiba ‘merasa’ memiliki kewenangan untuk menilai keimanan atau akidah seseorang meski itu hanya dari ucapan selamat Natal kepada umat nasrani. 🙂 Padahal Rasulullah sendiri tidak pernah dan bahkan melarang umatnya untuk menilai apakah seseorang beriman atau tidak karena itu urusannya dengan Tuhan sendiri. Ada contoh untuk itu.
Suatu ketika dalam peperangan (saya lupa perang apa) seseorang dari golongan kafir tersudut dan terancam akan ditebas lehernya oleh golongan Islam. Melihat dirinya terancam akan mati ia segera cepat-cepat mengucapkan syahadat untuk menyatakan dirinya sebagai golongan Islam (sangat mudah untuk menyatakan diri sebagai seorang Islam ternyata) dengan harapan agar ia diampuni dan tidak jadi dibunuh. Tapi umat Islam lawannya merasa bahwa hal itu hanya sebagai siasat agar ia tidak dibunuh dan si kafir tidak sungguh-sungguh beriman. Itu hanya sebagai ucapan di bibir saja dan bukan keyakinan sejati. Oleh si umat Islam lawannya tadi ditebas lehernya sampai mati. Ucapan syahadat dari si kafir tadi bukanlah ungkapan keimanan baginya dan hanya sekedar upaya untuk melepaskan diri dari kematian. Dan itu tidak layak untuk dipercaya.
Ketika Rasulullah mendengar hal tersebut beliau sangat marah. Jika seseorang telah mengucapkan syahadat, dalam keadaan apapun, maka setiap umat Islam patut menghargainya dan tak seorangpun boleh menilai atau menghakimi isi hatinya. Tidak dalam perang tidak dalam damai. Itu adalah wewenang Tuhan semata. Apakah seseorang beriman atau tidak, itu sepenuhnya urusan antara dirinya dengan Tuhan. Para nabi dan rasul pada hakikatnya hanyalah para penyampai kebenaran dan ketauhidan. Bahkan mereka tidak punya hak dan wewenang untuk menentukan apakah seseorang itu beriman atau tidak. Bahkan jika seseorang itu secara terang-terangan menolak ajaran yang dibawakannya, para nabi dan rasul itupun tidak memiliki kewenangan untuk menekan, mengintimidasi, atau memaksanya untuk mengikuti ajarannya.
Masalah keimanan bukanlah ‘daerah jurisdiksi’ para rasul, atau siapapun (apalagi kalau cuma ‘sekelas’ ulama) untuk menilainya. Hanya Allahlah yang berhak untuk menilai apakah seseorang benar-benar beriman atau tidak. Para nabi dan rasul hanya berhenti pada ‘legalitas formal’ yang menunjukkan seseorang telah menyatakan beriman atau tidak dengan mengucapkan kalimat syahadat. Titik. Selanjutnya para nabi dan rasul akan mengajak mereka yang sudah bersyahadat tersebut untuk meningkatkan keimanannya dengan perbuatan baik.
Jika Rasul hendak menjaga dan meningkatkan keimanan umatnya maka biasanya dinyatakan secara umum, :”Tidak beriman seseorang yang…dst.” Dan tidak pernah Rasul menyatakan, :”Si A telah kehilangan keimanannya karena ia telah…dst.” Itu bukan jurisdiksi beliau. Salah satu contoh adalah pernyataan Rasulullah, :”Tidak beriman seseorang jika ia makan kenyang sedangkan tetangganya kelaparan.” Tapi Rasulullah tidak pernah menunjuk seseorang tidak beriman karena kebetulan tetangganya ada yang kelaparan. Begitu juga dengan pernyataan Rasulullah,:”Tidak Islam seseorang jika tetangganya merasa terganggu olehnya.” (atau senada dengan ini). Tapi ini tidak berarti bahwa jika ada seseorang yang merasa terganggu oleh tetangganya yang muslim maka ia bisa menghakimi bahwa tetangganya tersebut sudah bukan Islam lagi (yang berarti kafir). Ini hanya untuk menyatakan bahwa setiap muslim mestilah perduli dengan nasib tetangganya dan tidak diperkenankan untuk mengganggunya. Seorang muslim yang tidak perduli dengan nasib tetangganya (meski bukan muslim) dianggap tidak memiliki nilai-nilai keislaman seperti yang diharapkan. Tapi ini adalah general rules dan bukan untuk dipakai sebagai ‘alat ukur’ yang bisa kita tembakkan ke tetangga-tetangga kita, umpamanya. Kita tidak bisa mengatakan,:”Wahai fulanboy! Kemarin ada tetanggamu yang kelaparan padahal kamu enak-enakan makan sate sampai kekenyangan. Sorry, mulai hari ini kamu bukan orang beriman. Ini kata Hadist sahih.”

Balik kepada ucapan selamat natal. Ucapan selamat natal ini sama sekali jauh dari masalah akidah. Ini hanyalah masalah ‘muamalah’ tatacara kita berhubungan dengan sesama manusia. Kita tahu bahwa sebagian besar umat nasrani meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan karena adanya konsensus jaman Nicea dulu. Tapi kita juga perlu tahu bahwa tidak semua orang nasrani mempercayai hal ini. Ada golongan dalam agama nasrani yang tidak menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Saksi Jehovah, umpamanya, terang-terangan menentang umat Nasrani lain perkara ini dan mereka menyatakan bahwa Yesus hanyalah nabi belaka.
Kita tahu bahwa ada sebagian umat Nasrani yang mempercayai bahwa Yesus, yang dianggapnya sebagai Tuhan, lahir pada tanggal 25 Desember. Tapi ada banyak umat Nasrani yang juga sudah paham bahwa Yesus tidak mungkin lahir pada tanggal tersebut. Penelitian lebih lanjut secara ilmiah semakin meneguhkan bahwa sebenarnya Yesus tidak lahir pada tanggal tersebut. Dan mereka tahu itu. Jadi berpikir gebyah uyah bahwa umat Kristen tidak tahu hal ini sebetulnya menunjukkan ketidakpahaman kita (ignorance).

Bagi sebagian umat nasrani, atau masyarakat Barat, perayaan natal sudah tidak ada hubungannya lagi dengan agama. Kebanyakan orang Barat sudah tidak mempercayai agama lagi dan natal hanyalah sebagai tradisi. Jadi sebenarnya kalau mau dibuat statistiknya perayaan natal sebenarnya lebih banyak sebagai tradisi ketimbang perayaan keagamaan.
Lantas dimana hubungannya dengan akidah? Sama sekali tidak ada hubungannya. Bahkan bagi kebanyakan orang Nasrani ucapan selamat natal sama sekali tidak ada hubungannya dengan fakta bahwa Yesus dilahirkan pada tanggal 25 Desember. Apalagi bagi orang Islam. Adalah kejadian yang sangat…sangat muskil jika ada umat Islam yang mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani karena ia mengimani bahwa Yesus adalah Tuhan. It is a very..very impossible situation.

Tapi kenapa ya, umat islam takut sekali kalau ucapan tersebut dapat merusak akidahnya? Kehati-hatian atau kebodohan? Ya karena terpengaruh oleh mitos tersebut. Sebegitu bodohnyakah ia sehingga mengira bahwa Yesus itu salah satu Tuhan yang kemudian ia nyatakan dengan ucapan selamat natal? Rasanya tidak mungkin. Umat islam sebenarnya umat yang paling ketat dalam akidah sehingga kemungkinan akidahnya ‘tercemar’ HANYA karena ucapan selamat natal kepada umat nasrani adalah ilusi yang sangat…sangat liar.
Untuk menutup tulisan saya, saya mau bertanya kepada saudara-saudaraku umat Islam apakah pernah menjumpai ada satu saja umat Islam yang rusak akidahnya karena mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani? Jika pernah menjumpai ada umat Islam yang rusak akidahnya karenanya, maka saya mau bertanya lebih lanjut apa ukuran yang dipakai untuk menilai bahwa ia telah rusak akidahnya dan siapa yang memberi kita wewenang untuk menilai seseorang telah rusak akidahnya atau tidak.
Jika kita menganggap bahwa mengucakan selamat natal akan merusak akidah maka dengan logika yang sama mengucapkan turut berdukacita atas meninggalnya tetangga yang non-islam juga akan merusak akidah. Bahkan lebih ‘berbahaya’ derajatnya dan lebih dekat kepada kerusakan akidah. Exercise your mind, kalau tidak percaya.
Wallahu alam bissawab.

Wassalam
Satria

NB: Tulisan ini sudah saya postingkan ke milis lain pada tahun lalu.