Assalamu alaikum wr. Wb.
Saudara-saudaraku,
Menurut pendapat saya pendapat yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani adalah merusak akidah adalah hanya mitos. Mitos adalah sesuatu yang dipercaya sebagai sesuatu yang benar tanpa adanya bukti-bukti dan fakta-fakta. Mitos itu lebih berdasarkan asumsi yang dipercayai tanpa diteliti dengan sebaik-baiknya lebih dahulu yang kemudian dibesar-besarkan sehingga menjadi pendapat umum. Begitu juga pendapat ucapan selamat natal dalam mainstream Islam. Bagaimana untuk membuktikan bahwa ini cuma mitos? Mudah saja. Coba cari bukti tentang adanya orang yang rusak akidahnya karena mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani. Cari satu saja sebagai bukti dan setelah itu baru kita bisa katakan bahwa ternyata terbukti ada orang yang rusak akidahnya karena mengucapkan selamat natal kepada temannya yang nasrani.
Tentu saja kita tidak akan dapat menemukan satupun karena kita tidak punya alat ukur dan kewenangan untuk menentukan apakah seseorang rusak akidahnya atau tidak karena sebuah ucapan selamat. Tidak di jaman Rasulullah tidak pula di jaman sekarang. Saya telah mengucapkan selamat natal selama bertahun-tahun kepada teman-teman Nasrani saya dan saya samasekali tidak pernah merasakan adanya kerusakan pada akidah saya. Lagipula emangnya ada ‘alat ukur kerusakan akidah’?
Tapi apakah sebenarnya tindakan atau perbuatan yang bisa kita nyatakan sebagai merusak akidah? Akidah secara umum saya nyatakan sebagai keyakinan kita kepada Tuhan yang Maha Esa. Jadi kalau saya mencampuradukkan keyakinan saya kepada Allah swt (tawhid) dengan keyakinan adanya Supreme Being yang sama berkuasanya dengan Allah SWT maka dapat dianggap bahwa akidah saya sudah rusak. Kepercayaan (sebagian) umat Nasrani yang menyatakan Yesus sebagai Tuhan yang sama berkuasanya dan sebanding dengan Allah SWT, sebagai penciptanya, dianggap oleh umat Islam sebagai kemusyrikan besar. Umat Islam yang mempercayai, atau ikut-ikutan mempercayainya dengan pikiran, kata-kata, ataupun tindakan, dianggap sebagai rusak akidahnya. Umat Islam sangat ketat, zero tolerance, dengan masalah yang satu ini.
Tapi apakah kita bisa menilai keimanan, keyakinan, atau kepercayaan seseorang pada Tuhan dari ucapan atau perkataannya? Tentu saja tidak. Tapi celakanya hampir semua umat islam (mainstream) tiba-tiba ‘merasa’ memiliki kewenangan untuk menilai keimanan atau akidah seseorang meski itu hanya dari ucapan selamat Natal kepada umat nasrani. 🙂 Padahal Rasulullah sendiri tidak pernah dan bahkan melarang umatnya untuk menilai apakah seseorang beriman atau tidak karena itu urusannya dengan Tuhan sendiri. Ada contoh untuk itu.
Suatu ketika dalam peperangan (saya lupa perang apa) seseorang dari golongan kafir tersudut dan terancam akan ditebas lehernya oleh golongan Islam. Melihat dirinya terancam akan mati ia segera cepat-cepat mengucapkan syahadat untuk menyatakan dirinya sebagai golongan Islam (sangat mudah untuk menyatakan diri sebagai seorang Islam ternyata) dengan harapan agar ia diampuni dan tidak jadi dibunuh. Tapi umat Islam lawannya merasa bahwa hal itu hanya sebagai siasat agar ia tidak dibunuh dan si kafir tidak sungguh-sungguh beriman. Itu hanya sebagai ucapan di bibir saja dan bukan keyakinan sejati. Oleh si umat Islam lawannya tadi ditebas lehernya sampai mati. Ucapan syahadat dari si kafir tadi bukanlah ungkapan keimanan baginya dan hanya sekedar upaya untuk melepaskan diri dari kematian. Dan itu tidak layak untuk dipercaya.
Ketika Rasulullah mendengar hal tersebut beliau sangat marah. Jika seseorang telah mengucapkan syahadat, dalam keadaan apapun, maka setiap umat Islam patut menghargainya dan tak seorangpun boleh menilai atau menghakimi isi hatinya. Tidak dalam perang tidak dalam damai. Itu adalah wewenang Tuhan semata. Apakah seseorang beriman atau tidak, itu sepenuhnya urusan antara dirinya dengan Tuhan. Para nabi dan rasul pada hakikatnya hanyalah para penyampai kebenaran dan ketauhidan. Bahkan mereka tidak punya hak dan wewenang untuk menentukan apakah seseorang itu beriman atau tidak. Bahkan jika seseorang itu secara terang-terangan menolak ajaran yang dibawakannya, para nabi dan rasul itupun tidak memiliki kewenangan untuk menekan, mengintimidasi, atau memaksanya untuk mengikuti ajarannya.
Masalah keimanan bukanlah ‘daerah jurisdiksi’ para rasul, atau siapapun (apalagi kalau cuma ‘sekelas’ ulama) untuk menilainya. Hanya Allahlah yang berhak untuk menilai apakah seseorang benar-benar beriman atau tidak. Para nabi dan rasul hanya berhenti pada ‘legalitas formal’ yang menunjukkan seseorang telah menyatakan beriman atau tidak dengan mengucapkan kalimat syahadat. Titik. Selanjutnya para nabi dan rasul akan mengajak mereka yang sudah bersyahadat tersebut untuk meningkatkan keimanannya dengan perbuatan baik.
Jika Rasul hendak menjaga dan meningkatkan keimanan umatnya maka biasanya dinyatakan secara umum, :”Tidak beriman seseorang yang…dst.” Dan tidak pernah Rasul menyatakan, :”Si A telah kehilangan keimanannya karena ia telah…dst.” Itu bukan jurisdiksi beliau. Salah satu contoh adalah pernyataan Rasulullah, :”Tidak beriman seseorang jika ia makan kenyang sedangkan tetangganya kelaparan.” Tapi Rasulullah tidak pernah menunjuk seseorang tidak beriman karena kebetulan tetangganya ada yang kelaparan. Begitu juga dengan pernyataan Rasulullah,:”Tidak Islam seseorang jika tetangganya merasa terganggu olehnya.” (atau senada dengan ini). Tapi ini tidak berarti bahwa jika ada seseorang yang merasa terganggu oleh tetangganya yang muslim maka ia bisa menghakimi bahwa tetangganya tersebut sudah bukan Islam lagi (yang berarti kafir). Ini hanya untuk menyatakan bahwa setiap muslim mestilah perduli dengan nasib tetangganya dan tidak diperkenankan untuk mengganggunya. Seorang muslim yang tidak perduli dengan nasib tetangganya (meski bukan muslim) dianggap tidak memiliki nilai-nilai keislaman seperti yang diharapkan. Tapi ini adalah general rules dan bukan untuk dipakai sebagai ‘alat ukur’ yang bisa kita tembakkan ke tetangga-tetangga kita, umpamanya. Kita tidak bisa mengatakan,:”Wahai fulanboy! Kemarin ada tetanggamu yang kelaparan padahal kamu enak-enakan makan sate sampai kekenyangan. Sorry, mulai hari ini kamu bukan orang beriman. Ini kata Hadist sahih.”
Balik kepada ucapan selamat natal. Ucapan selamat natal ini sama sekali jauh dari masalah akidah. Ini hanyalah masalah ‘muamalah’ tatacara kita berhubungan dengan sesama manusia. Kita tahu bahwa sebagian besar umat nasrani meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan karena adanya konsensus jaman Nicea dulu. Tapi kita juga perlu tahu bahwa tidak semua orang nasrani mempercayai hal ini. Ada golongan dalam agama nasrani yang tidak menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Saksi Jehovah, umpamanya, terang-terangan menentang umat Nasrani lain perkara ini dan mereka menyatakan bahwa Yesus hanyalah nabi belaka.
Kita tahu bahwa ada sebagian umat Nasrani yang mempercayai bahwa Yesus, yang dianggapnya sebagai Tuhan, lahir pada tanggal 25 Desember. Tapi ada banyak umat Nasrani yang juga sudah paham bahwa Yesus tidak mungkin lahir pada tanggal tersebut. Penelitian lebih lanjut secara ilmiah semakin meneguhkan bahwa sebenarnya Yesus tidak lahir pada tanggal tersebut. Dan mereka tahu itu. Jadi berpikir gebyah uyah bahwa umat Kristen tidak tahu hal ini sebetulnya menunjukkan ketidakpahaman kita (ignorance).
Bagi sebagian umat nasrani, atau masyarakat Barat, perayaan natal sudah tidak ada hubungannya lagi dengan agama. Kebanyakan orang Barat sudah tidak mempercayai agama lagi dan natal hanyalah sebagai tradisi. Jadi sebenarnya kalau mau dibuat statistiknya perayaan natal sebenarnya lebih banyak sebagai tradisi ketimbang perayaan keagamaan.
Lantas dimana hubungannya dengan akidah? Sama sekali tidak ada hubungannya. Bahkan bagi kebanyakan orang Nasrani ucapan selamat natal sama sekali tidak ada hubungannya dengan fakta bahwa Yesus dilahirkan pada tanggal 25 Desember. Apalagi bagi orang Islam. Adalah kejadian yang sangat…sangat muskil jika ada umat Islam yang mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani karena ia mengimani bahwa Yesus adalah Tuhan. It is a very..very impossible situation.
Tapi kenapa ya, umat islam takut sekali kalau ucapan tersebut dapat merusak akidahnya? Kehati-hatian atau kebodohan? Ya karena terpengaruh oleh mitos tersebut. Sebegitu bodohnyakah ia sehingga mengira bahwa Yesus itu salah satu Tuhan yang kemudian ia nyatakan dengan ucapan selamat natal? Rasanya tidak mungkin. Umat islam sebenarnya umat yang paling ketat dalam akidah sehingga kemungkinan akidahnya ‘tercemar’ HANYA karena ucapan selamat natal kepada umat nasrani adalah ilusi yang sangat…sangat liar.
Untuk menutup tulisan saya, saya mau bertanya kepada saudara-saudaraku umat Islam apakah pernah menjumpai ada satu saja umat Islam yang rusak akidahnya karena mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani? Jika pernah menjumpai ada umat Islam yang rusak akidahnya karenanya, maka saya mau bertanya lebih lanjut apa ukuran yang dipakai untuk menilai bahwa ia telah rusak akidahnya dan siapa yang memberi kita wewenang untuk menilai seseorang telah rusak akidahnya atau tidak.
Jika kita menganggap bahwa mengucakan selamat natal akan merusak akidah maka dengan logika yang sama mengucapkan turut berdukacita atas meninggalnya tetangga yang non-islam juga akan merusak akidah. Bahkan lebih ‘berbahaya’ derajatnya dan lebih dekat kepada kerusakan akidah. Exercise your mind, kalau tidak percaya.
Wallahu alam bissawab.
Wassalam
Satria
NB: Tulisan ini sudah saya postingkan ke milis lain pada tahun lalu.
WURYANANO
Jan 12, 2008 @ 05:53:12
Uraian yang menyegarkan pikiran, mas Satria.
Salam,
Wuryanano
http://wuryanano.com/
titi
Jan 19, 2008 @ 07:23:42
klu saya pribadi sih, kembali ke niat awalnya aja. klu memang kita memberikan ucapan selamat itu just 4 socialize ya gpp! tanpa niat menyetujui akidah mereka.
bunda syahra
Jan 25, 2008 @ 19:38:41
Saya membaca buku Imam Khumaeni (sudah lama juga saya membacanya, kalau tidak salah ‘mata air kecemerlangan’). Sewaktu natal tiba di prancis, beliau mengirimkan ucapan selamat dan bunga. Padahal beliau dikenal sangat berhati-hati dalam bertindak dan bertutur. Nabi Muhammad SAW selalu mencontohkan bagaimana Islam dengan Akhlak yang baik dan Al Quran mengajarkan bahwa Akhlak kepada tetangga adalah tanda orang yang beriman. Mungkin itu bisa kita jadikan perenungan.
Sheila
Jan 27, 2008 @ 19:47:23
Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada Pak Satria, ada yang menjadi tanda tanya mengenai isi tulisan bapak.
Tampaknya tokoh-tokoh seperti Amin Rais, Hidayat Nur Wahid dll berdasarkan uraian Bapak adalah termasuk di dalam orang-orang yang mempercayai mitos. Begitukah?
Bagaimana dengan Hadits:
عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من تشبه بقوم فهو منهم
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang
menyerupa suatu kaum, maka dia termasuk di antara mereka. (HR Abu Daud)
عبد الله بن عمرو أنه قال: من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت حشر معهم يوم القيامة
Dari Abdullah bin Amr berkata bahwa orang yang mendirikan Nairuz dan Mahrajah di atas tanah orang-orang musyrik serta menyerupai mereka hingga wafat, maka di hari kiamat akan dibangkitkan bersama dengan mereka.
Wallahu a’lam bishshawab.
Satria Dharma
Jan 27, 2008 @ 23:38:49
Bu Sheila,
Sila kunjungi link berikut ini untuk memperoleh wawasan yang lebih luas.
http://www.eramuslim.com/ustadz/aqd/7c25133059-hukum-mengucapkan-quotselamat-natalquot.htm
Salam
Satria
Sheila
Jan 29, 2008 @ 16:24:19
Terima kasih atas info linknya. Wah, tampaknya masih sangat banyak yang terlewat untuk saya pelajari. Khusus untuk Fatwa MUI, ini dia ternyata yang salah saya dapat.
Bazoki
Jun 01, 2008 @ 11:55:41
Berikut ini petikan tanggapan dari milis Sabili
Waalaikumusalam wr wb, Mas Darma,
1. Saya tidak tahu apakah ada moderasi di Sabili – silahkan di klarifikasi saja dengan moderator. Tapi melihat ini hari sabtu, rata-rata memang jarang ada email masuk di hari sabtu-minggu. Tapi entahlah sy tdk mau spekulasi.
2. Terima kasih atas klarifikasi mas darma tentang pandangan anda thd ucapa Selamat Natal kepada kaum Nasrani, dan kami jadi tahu dimana posisi anda sekarang.
3. Sebagai insan Muslim, sudah seharusnya kita saling belajar, yaitu melihat ilmu itu ibarat air yang akan mengalir ke arah bawah, oleh itu mari rendahkan hati kita, emosi kita, dan mencoba mendengar dari pihak lain, sehingga relung2 itu terisi air ilmu yang sangat luar biasa. Namun jika kita mengangkat diri kita, (menyombongkan diri), maka air tadi tidak akan masuk dalam diri kita, dan kita menjadi kufur karenanya.
4. Pandangan Saya (saya sudah baca bgm pandangan mas Darma) – dalam islam ini ada perintah dimana kita hrs Sa’amikna wa’athokna, yaitu mendengar, tunduk dan patuh kepada Pemimpin. Perintah itu jelas dan semua umat Islam harus tahu. Dalam Akidah Islam, maka kita wajib tunduk dan patuh kepada pemimpin, siapa itu ?? kalau jaman Rasul yha tentu rasul pimpinan kita, setelah Rasul tidak ada maka para tabi’it – ta’biin dan kemudian para Ulama. Jadi sepeninggal Rasul dan sahabat, maka kita wajib mengakui pemimpin Islam adalah para Ulama. Itu di seluruh dunia mas. Masalahnya ulama yang mana ?? yah tentu ulama bukan secara individual, namun forum ulama, spt di Arab, Yaman, Mesir dll – mereka punya wadah ulama. Forum ulama ini tentu dikendalikan oleh beberapa ulama yang mahzabnya tentu beda-beda – untuk itu perlu pandangan yang sama dan satu. Di Indonesia ini, wadah ulama hanya di MUI, maka apapun produk MUI (saya pikir) sudah melalui proses pengkajian dengan dalil-dalil yang kuat, sehingga keluarlah produk MUI yang namanya FATWA. Siapa lagi yang tunduk dan patuh pada ulama kita kalau kalau bukan umat islam ???????? – ini pemikiran orang bodoh dan orang kampung spt saya ya mas. (ma’af) – Nah – padahal dalam produk MUI ini jelas ada fatwa yang mengharamkan mengucapkan Natal kepada Kaum Nasrani. Maka sbg umat, saya tunduk dan patuh – disamping krn kedangkalan ilmu saya dan juga karena ada perintah agama kita harus tunduk kepada orang yang ngerti (ulama). Jadi produk Ulama ini jangan lalu ditafsirkan sendiri-sendiri, spt orang jadi rikuh/sungkan kalau tidak mengucapkan selamat natal, enggak enak hati – krn waktu lebaran mereka memberi selamat kpd kita, dsb. Namun karena ini prinsip akidah, maka saya tidak akan mengucapkan sampai kapanpun – sebab dng pengetahuan dan perintah ulama, saya tidak diperkenankan untuk itu. (sekali lagi pandangan ini adalah pandangan saya). Munculnya golong liberal, itu karena pada awalnya yha spt ini mas, mereka bebas memiliki pendapat, bebas menafsirkan Quran (heurmetika), bebas berpendapat, pingin bebas bertindak dll – sehingga apa akibatnya kalau seluruh umat ini boleh menafsirkan akidah secara sendiri-sendiri. Saya tidak menafikkan kemampuan anda membaca buku, kemampuan anda menafsirkan dan kemampuan anda mengerti dan kemampun melaksanakan secara muamalah – namun belajar tanpa pembimbing itu sungguh sangat bahaya mas, yang dibimbing saja bisa keblinger, apalagi yang tidak. Kita tidak boleh sombong bahwa kita bisa memperlajari sendiri, namun hasilnya tentu akan lain.
5. Secara panjang lebar teman-teman terdahulu sudah menjelaskan bhw Natal itu adalah “Akidah”: kristen, bukan Mitos. Kalau Mitos tentu orang kristem mau tidak usah merayakan natal, tapi apa mau mereka tidak merayakan itu. Meskipun dari beberapa referensi buku kita tahu, bahwa apa benar Isa lahir tgl 25 – itu masih menjadi pertanyaan besar bahkan di kalangan kristen sendiri belum sepakat ttg hal ini. Jadi karena ini akidah, maka mengucapkan selamat, yha sama saja meng AMIN kan akidah mereka, padahal akidah Islam tidak sama dengan mereka terutama asas Trinitas mereka. Kalau kita mengaminkan, maka kita mengakui eksistensi akidah mereka yang menurut islam sudah salah kaprah. jadi menolak ucapan itu adalah bentuk resistensi Islam bahwa islam tidak mengakui adanya natal, yang diakui Islam adalah Isa sebagai utusan yang membawa Injil …..titik !! jadi tidak ada yang lain. Perkara lalu diperingati oleh umatnya pada saat natal – itu khan umatnya yang mengada-adakan itu, dan itu bukan perintah Isa apalagi perintah Tuhan. Mengerjakan sesuatu tanpa dasar, dalam Islam dilarang, sehingga rel kita kembali lagi harus memakai Qur’an dan Hadis. ………………. sekali lagi mhn ma’af ini pandangan saya. Dan kalau mengucapkan natal ini boleh dilakukan, mengapa anda hanya mengucapkan untuk kaum kristen saat natal. Mengapa tidak juga dilakukan kepada Kaum Budha, Hindu, Konghucu, dll pada saat mereka merayakan hari kelahiran dewanya. Apakah kita bisa torelanse thd agama yang menyembah PATUNG – dengan mengatakan, “Selamat Hari …………… yha” …………. ini khan sungguh artinya kita tidak bisa mendudukan persoalan akidah pada posisi yang tepat. Toleransi boleh, namun harus ditempatkan pada yang Haq. Jadi saya hanya ingin mengajak mas Dharma bisa mengerti bgmana pandangan ulama dan pandangan rekan2 terdahulu (termasuk saya) – mengharamkan mengucapkan selamat natal kpd kaum kristen. Sebab kami telah mempelajari itu – dan tadinya sebelum kami tahu, yah kami sama dengan anda itu, ikut arus, rasa enggak enak, rasa sungkan , merasa kok enggak toleranse, dsb. namun setelah kami tahu, oohh iya ….berarti selama ini saya salah ……….. maka sebagai manusia, saya tentu harus memperbaiki kesalahan saya. Saya tidak berharap mas darma mengaminkan tulisan saya ini, namun cuma tolong renungkan apa yang telah kita diskusikan ……………….. rendahkan hati, dan jangan tinggikan hati, agar diskusi keilmuan ini bisa masuk dalam diri kita. Sy berdoa agar saya dan anda mendapat hidayah dan ditunjukkan kepada jalan yang lurus …………. terima kasih.
Wassalam
Baz
NB : Kalau anda di Jakarta, dan ingin belajar Islam secara kaffah, silahkan hub saya, nanti saya ajak ke madrasah dimana kami belajar hanya di hari Sabtu atau Minggu (pilihan) sebab di sela-sela kesibukan ini, kadang kita tidak sempat belajar apalagi membaca sendiri. Jadi dengan ikut Dirozah, maka kita bisa tambah ilmu dan tambah sahabat. Gurunya 50% lulusan Arab, yaman, pakistan, dll dan 50% (LC) darai LIPIA – Jakarta. Masuk Jam : 08:00 – 12.00 setiap sabtu/minggu. Kelasnya boleh pilih, Quran, Bahasa atau Dirozah (Akidah, siroh, Hadits, dll) – Inilah pentingnya kita punya pembimbing dalam mempelajari sesuatu ……….. karena disitu tempat kumpulnya para ahli ………..
Satria Dharma
Jun 01, 2008 @ 11:56:16
Assalamu alaikum wr. wb.
Mas Bazoki,
Sungguh senang membaca nada dari balasan Anda. Tenang dan tidak emosional. Itu tandanya orang yang memiliki ilmu dan kepercayaan diri yang tinggi.
Baiklah Mas, mari kita bahas pendapat Anda.
1. Saya sengaja masuk Sabili karena saya tahu bahwa majalah Sabili termasuk majalah Islam yang banyak dibaca umat Islam mainstream. Saya tahu bahwa orang seperti saya ini sangat minoritas. Orang yang berani berpendapat sendiri (apalagi jika bertentangan dengan kebanyakan ulama) bisa dimusuhi dan dicaci-maki. Tapi saya sadar resikonya. Saya melihat bahwa umat Islam sekarang ini malas berpikir dan semua masalah mau diserahkan kepada ulama sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan. “Serahkan saja kepada para ulama. Kan mereka orang yang pintar dan tahu benar soal agama. Kita ini apa sih, kok berani-beraninya berpikir bahwa kita juga mampu berpikir seperti para ulama?. Dst…dst…”
Saking malasnya kita berpikir sehingga semua hal kita tanyakan kepada ulama. Mulai hal yang remeh sampai hal yang tidak masuk akal. Padahal semua itu adalah masalah-masalah duniawi dan kehidupan sehari-hari kita belaka yang mungkin para ulama sendiri tidak terlalu tahu masalahnya terlalu dalam. Pada umumnya para ulama kita itu hanya mempelajari Al-Qur’an dan Hadist dan segala hal yang berhubungan dengan praktek-praktek yang terjadi pada jaman Nabi dan para sahabat. Mereka pada umumnya tidak begitu paham dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang secara pesat. Apa yang terjadi kemudian? Karena terus didesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari sedangkan ilmu yang dkuasainya adalah penafsiran tentang masalah-masalah fikih dari para ulama terdahulu yang menafsirkan berdasarkan kehidupan pada jamannya, maka terkadang jawaban yang diberikannya menjadi tidak mengena dan terlalu dipaksakan.
Coba bayangkan, bagaimana kalau para ulama kita ditanyai seperti ini,: Kyai, bagaimana hukumnya kalau kita mengikuti tatacara orang-orang kafir?” Jawabnya tentu, :”Haram! Itu sudah jelas. Baca Al-Baqarah 120. Al-Maidah. Rasulullah melarang kita untuk mengikuti tatacara mereka. Sedikit demi sedikit kita akan masuk ke lubang biawak. Dst..dst..”.
“Maksud saya, Kyai, kalau kita berpakaian seperti orang kafir, menggunakan produk-produk orang kafir, makan bersama orang-orang kafir, bekerja pada orang kafir, sehari-hari bergaul dengan orang kafir, dll.”
“Hmmm… Yang penting akidah kita harus terjaga.”
“Tapi ini kan bukan masalah akidah, Kyai!. Lha gimana, Kyai, saya mesti pakai dasi dan jas di kantor yang milik orang kafir. Ngirim berita pakai internet. Sering makan di KFC, McDonald, pakai mobil bikinan orang kafir, di rumah juga hampir semua barang adalah produk orang kafir, pemilihan umum juga tatacara kafir, nonton TV, pakai handphone … dll semua hasil produk orang kafir. kita dikepung oleh segala hal yang “berbau kafir”, Kyai!”
“Hmmm…”
Dst…dst….
Silakan bikin sendiri dialognya sesuai dengan kenyataan sehari-hari. Saya berpikir alangkah sulitnya hidup jika hal-hal yang semacam ini kita mesti tanya kepada ulama yang tentu saja tidak bisa bersikap ‘moderat’ dan harus selalu ‘berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Hadist”. Saya tidak menyalahkan para ulama yang ‘terpaksa’ menjawab semampunya karena mereka tidak menemukan argumentasi yang memadai berdasarkan kitab-kitab yang mereka miliki. Adalah kesalahan kita yang terlalu memaksakan diri untuk menanyakan segala hal kepada ulama, yang kita pikir memiliki semua jawaban dari permasalahan dunia dan akhirat. Padahal mereka juga manusia biasa seperti kita yang memiliki keterbatasan-keterbatasan. Mereka bukanlah nabi yang kata-katanya pasti benar belaka. Bahkan Rasulullah pun tidak selalu benar dan menyerahkan masalah-masalah sehari-hari kepada kita untuk menjawabnya. Ada riwayat tentang itu dimana Rasulullah menjawab, :”Engkau lebih tahu mengenai masalah itu.” Rasulullah memang tidak diutus untuk hal-hal remeh dan mesti menjawab semua permasalahan umat.
Di milis Sabili saya ingin berbagai pemikiran dan mulai sedikit demi sedikit mengajak saudara-saudaraku untuk berani mengemukakan pendapat dan tidak selalu harus ikut apa katanya “kyai” di Sabili, atau di manapun. Tidaklah mungkin saya mengajak sesama muslim untuk kafir ataupun sesat. Kita tidaklah ‘sebodoh’ seperti yang kita kira. Kita telah belajar cukup banyak dan jika kita tidak pernah berani berpendapat bertentangan dengan ‘ulama’ maka Islam tidak akan pernah berkembang. Pemikiran akan jumud dan kita akan selalu tertinggal dibandingkan umat-umat lain. Sekarang ini pun sudah kita alami.
2. Saya bukan hanya mengucapkan “Selamat Natal” tapi juga selamat hari raya kepada umat lain, bahkan mengucapkan “Gong Xi Fat Choi” kepada teman-teman yang merayakan. Saya mengucapkan ini bukan karena ada perasaan tidak enak kepada teman yang beragama lain kalau tidak mengucapkannya atau seabgai basa-basi. Saya tidak perduli dengan basa-bas, apalagi merasa tidak enak. Kalau bagi saya baik ya saya lakukan dan kalau tidak ya saya tinggalkan dan tidak terlalu perduli apa kata orang. Saya memutuskan sendiri hal-hal ‘remeh’ macam begini dan tidak bergantung pada pendapat orang lain.
Mengapa saya menugucapkan semua itu? Karena saya ingin melakukan hubungan baik dengan sesama manusia, meski berlainan agama. Dan ini adalah ajaran agama Islam. (“Bukankah kita bisa tetap berhubungan baik tanpa mengucapkan selamat natal, dll?”) Bagi saya, mengucapkan selamat natal sama maknanya dengan mengucapkan “selamat atas kelahiran anak Anda, selamat atas promosi yang Anda peroleh, selamat ulang tahun, dll”
3. Sami’na wa ato’na. Ini istilah yang paling banyak disalah artikan. Seolah-olah semua yang disampaikan oleh para ulama atau kyai harus diikuti semua pendapatnya. Pendapat ulama bukanlah hukum yang wajib dipatuhi sebagaimana kita patuh pada perintah Tuhan. Ulama hanyalah menginterpretasikan hukum dan aturan Tuhan seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadist. Mereka dianggap lebih otoritatif karena mereka memiliki ilmu yang lebih tingi daripada kebanyakan orang dalam hal penafsiran Al-Qur’an dan Hadist. Tapi itu tidak berarti bahwa apapun yang mereka tafsirkan dijamin benar.
Perlu dipahami oleh umat islam bahwa tidak dalam segala hal para sahabat “Sami’na wa ato’na” meski kepada Rasulullah. Para sahabat adalah orang-orang yang juga kritis dan tidak sekedar “Sami’na wa ato’na”. Ada riwayat tentang itu. Suatu ketika dalam sebuah perjalanan yang dipimpin sendiri oleh Rasulullah diputuskan untuk berhenti dan mendirikan kemah. Rasulullah kemudian memerintahkan rombongannya untuk berhenti di suatu tempat.
Mengetahui hal tersebut para sahabat bertanya apakah pemilihan tempat tersebut berdasarkan wahyu dari Tuhan atau sekedar pendapat Rasulullah sendiri? Dijawab oleh Rasulullah bahwa itu pendapat pribadinya dan tidak ada wahyu tentang hal tersebut. Mengetahui hal tersebut para sahabat kemudian mengusulkan agar perkemahan dibuka di lokasi lain yang dekat dengan mata air. Rasulullah kemudian setuju dan tempat perkemahan didirikan sesuai dengan anjuran para sahabat.
Dari sini kita tahu bahwa tidak semua perintah Rasulullah diikuti begitu saja oleh para sahabat. Ini juga berarti bahwa tidak semua hal yang diputuskan oleh Rasulullah adalah berdasarkan wahyu. Ini juga berarti bahwa tidak semua keputusan Rasulullah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari adalah yang terbaik, meskipun untuk kondisi saat itu.
Nah! Kembali ke masa kini, bagaimana mungkin kita akan “sami’na wa ato’na” terhadap apapun yang difatwakan MUI lha wong dalam penetapan Iedhul Fitri dan Iedul Adha saja mereka ‘tidak berdaya’? Kasus berbedanya hari lebaran sebetulnya harus membuka mata kita bahwa kita tidak bisa menyerahkan bulat-bulat segala hal kepada MUI lha wong hal yang ‘remeh’ aja mereka nggak bisa sepakat.
4. Pendapat Anda “Natal itu adalah “Akidah”: kristen, bukan Mitos” mengandung kesalahan. Jelas sekali bahwa tanggal 25 Desember yang mereka anggap sebagai hari lahir Yesus ternyata memang mitos dan tidak benar. Sekarang ini hampir semua orang Kristen sudah sadar bahwa Yesus tidak mungkin lahir pada tanggal 25 Desember waktu itu. Jadi ini sudah pendapat umum. Ini adalah mitos yang terbukti salah. Lho! Kan Anda sendiri tidak percya bahwa tanggal 25 Desember adalah hari lahir Yesus?
Pendapat Anda lainnya “Jadi karena ini akidah, maka mengucapkan selamat, yha sama saja meng AMIN kan akidah mereka” dengan sendirinya GUGUR. Ada dua kesalahan logika disini. Pertama, pada frasa “karena ini akidah” sudah salah karena ini bukan akidah. Bagi umat Nasrani sekarang ini (apalagi mayoritas orang-orang Barat) merayakan natal tidak lagi berhubungan dengan keyakinan bahwa Yesus itu Tuhan. Silakan tanya kepada hampir semua orang Barat yang merayakan natal maka And akan temui jawaban bahwa natal hanyalah tradisi. Jadi sama dengan tumpengan, syukuran, Sekatenan, dll perayaan lainnya. Kedua, “mengucapkan selamat sama dengan mengAMIN kan akidah mereka” jelas tidak punya pijakan logika lagi. Ucapan tersebut sama dengan ucapana selamat ulang tahu, selamat naik pangkat, turut berduka cita atas kematian keluarga Anda, dlsb. Dan tidak ada hubungannya dengan akidah. Inilah yang saya maksud sebagai MITOS. Kira mempercayai bahwa mengucapkan selamat natal adalah merusak akidah, padahal tidakada hubungannya dengan akidah, baik akidah mereka maupun akidah kita. No correlation at all.
5. Saya mengucapkan terima kasih atas ajakannya untuk belajar pada para guru yang Anda anggap memiliki ilmu yang tinggi tersebut. Saya senang sekali bisa belajar pada orang-orang yang hebat. Tapi saya tidak bisa ‘sami’na wa ato’na’ pada mereka begitu saja sebagaimana yang lain. Saya ingin guru yang bisa diajak berdiskusi dan mau menerima kebenaran dari siapapun dan bukan hanya membenarkan pendapatnya sendiri. Kebanyakan guru yang saya temui, utamanya kalau sudah disebut ‘ulama’ atau ‘kyai’, hanya membenarkan pendapatnya sendiri dan tidak bisa menerima pendapat orang yang dianggapnya ‘santri’nya. Saya terutama juga sering ‘sebel’ pada pemuka agama yang hantam kromo dengan ayat-ayat dan hadist. Pokoknya kalau sudah mengeluarkan ayat dan hadist maka sudah tentu benar meski sebenarnya tidak ada hubungannya.
Nah! Apakah para guru Anda bersedia jika sewaktu-waktu saya bantah dan saya tanyai “apakah itu wahyu atau pendapat pribadi?” sebagaimana para sahabat terhadap Rasulullah?
6. Last but not least, mohon agar sikap saya ini tidak dianggap sebagai “kesombongan” dan tidak bersedia menerima kebenaran karena “Kebenaran yang hakiki hanyalah dari Allah” dan manusia (apakah itu kyai, ulama, imam, dan hatta itu Rasulullah) bisa salah.
Sekian dan terima kasih atas tanggapannya
Wassalam
Satria
kambuno
Jun 25, 2008 @ 06:08:29
Assalamu ‘alaikum
afwan setelah membaca artikel atas Mitos Aqidah. hendaklah anda cermati dalam menyampaikan dalil atau alasan harus berpijak pada dalil yang kuat untuk itu dalil yg kuat hanya al qur’an & Assunnah. setelah membaca tulisan anda banyak hal -hal yang hanya berdasarkan pada akal ada belaka. tidakkah anda punya pijakan berpikir atas hal tersebut. masalah mengucapkan selamat natal bagi orang kafir yang merayakan hukum jelas. haram sebagaimana kesepakatan ulama seluruh dunia. untuk itu pada kesempatan ini. ana mengajak anda untuk menuntut ilmu syar’i yang merupakan kewajiban tiap muslim. upaya ini dilakukan untuk mencegah kita berpikir liar.ana tidak mau berpikir terlalu jauh karena akan menambah polemik yang tidak perlu. karena permasalahan sudah jelas. Semoga Allah SWT memberikan hidayah kepada anda untuk tidak hanya dengan logika dangkal dalam memahami sesuatu. Assalamu alaikum.
Satria Dharma
Jun 25, 2008 @ 07:32:31
Mas Kambuno,
Bisa ditunjukkan kesepakatan ulama seluruh dunia yang Anda maksudkan tersebut? Atau itu hanya ada dalam hayalan Anda saja?
Salam
Satria
kambuno
Jun 26, 2008 @ 02:33:48
Assalamu a’laikum
bila ad dien hanya bersdasarkan hayalan belaka tunggulah kehancurannya niscaya azab Allah amatlah pedih. Untuk itu sekarang ini banyak situs -situs islam yang bermanhaj yang salfush shalih atau ahlul sunnah wal jamaah yang concern dengan menegakkan tauhid yang merupakan inti dari agama kita. artikel dibawah ini Insya Allah akan menjelaskan tentang hukum menyambut Natal yang ana ambil dari fatwa ulama mufhti saudi Arabiyah Syech Fauzan Al Fauzan.
Hukum menyambut hari Natal/non muslim & Tahun Baru
Kamis, 11 Desember 2003 – 23:03:35 :: kategori Fatwa-Fatwa
Penulis: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan
.: :.
Hukum menyambut dan merayakan hari Raya non Muslim (Natal/Tahun Baru/Imlek, red)
Sesungguhnya di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi’ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.
Ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadanya (yang artinya) : ” Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah ?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka ?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam”
[Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]
Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ (loyalitas) kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka.
Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka (kini kebanyakan berpesiar, berlibur ke tempat wisata, konser, acara musik, diakhiri mabuk-mabukan atau perzinaan, red).
Dan diantaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.
Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan”.
Pertama. Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena
mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.
Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid’ah yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu”.
Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.
Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-‘Aql 1/425-426).
Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [1] maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran.
Segolongan ulama mengatakan. “Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi”. Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang mengikuti negera-negara ‘ajam (non Islam) dan melakukan perayaan Nairuz [2] dan Mihrajan [3] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.
Footnote :
[1] Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah ‘tanpa sengaja’.
[2] Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang
bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.
[3] Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan atau
ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara tidak panas
dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta yang diadakan untuk
hari bahagia -pent.
(Dinukil dari tulisan Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, dalam kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy[Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1])
Bagaimana semestinya sikap Muslim yang tepat menyikapi hari raya Natal/Tahun Baru/Non Muslim lainnya ?
Berikut nasihat dari Komisi Tetap Saudi Arabia
“Sesungguhnya nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan iman serta istiqomah di atas jalan yang lurus. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs. An Nisaa :69).
Jika diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati bahwa musuh-musuh Islam sangat gigih berusaha mema-damkan cahaya Islam, menjauhkan dan menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga tidak lagi istiqomah.Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, diantaranya, yang artinya: “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesung-guh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2:109)
Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala yang lain, artinya: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi beng-kok, padahal kamu menyaksikan”. Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 3:99)
Firman ALLAH (yang artinya) : ” Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta’ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi”. (QS. 3:149)
Salah satu cara mereka untuk menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus)yakni dengan menyeru dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan masyara-kat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja. Oleh karena itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.Secara garis besar fatwa yang dimaksud adalah:
Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya.
Perayaan yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya berisikan pesan ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran secara syar’i seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan antara Islam dengan agama lain. Juga tak dapat dihindari adanya simbul-simbul keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun perbuatan yang tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat Yahudi atau Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau kalau tidak agar orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga biasnya menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan siasat untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga akhirnya merasa asing dengan agamanya sendiri.
Telah jelas sekali dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang larangan meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu merupakan ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam hal ini adalah Ied atau hari besar mereka.Ied di sini mencakup segala sesuatu baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh orang kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan, termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang mereka lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang kafir yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap muslim untuk ikut mengagungkannya.
Larangan untuk meniru dan memeriahkan hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas juga dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain:
Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan.
Dukungan dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam batin yakni akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa terasa.
Yang paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan terhadap hari raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin terhadap orang kafir yang bisa menghapuskan keimanan.Ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala, (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya o-rang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. 5:51)
Dari uraian di atas, maka tidak diperbolehkan bagi setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi dan rasul, untuk ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut.Karena hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah.Dia telah melarang kita untuk tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran, sebagaimana firman Allah, (yang artinya) : “Dan tolong-menolonglah kamu di dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. 5:2)
Tidak diperbolehkan kaum muslimin memberikan respon di dalam bentuk apapun yang intinya ada unsur dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan orang kafir, seperti : iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam dinding atau fandel; menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang dimaksud; membuat cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan mengirimkan kartu ucapan selamat; membuat buku tulis;memberi keistimewaan seperti hadiah /diskon khusus di dalam perdagangan, ataupun(yang banyak terjadi) yaitu mengadakan lomba olah raga di dalam rangka memperingati hari raya mereka. Kesemua ini termasuk di dalam rangka membantu syiar mereka.
Kaum muslimin tidak diperbolehkan beranggapan bahwa hari raya orang kafir seperti tahun baru (masehi), atau milenium baru sebagai waktu penuh berkah(hari baik) yang tepat untuk memulai babak baru di dalam langkah hidup dan bekerja, di antaranya adalah seperti melakukan akad nikah,memulai bisnis, pembukaan proyek-proyek baru dan lain-lain. Keyakinan seperti ini adalah batil dan hari tersebut sama sekali tidak memiliki kelebihan dan ke-istimewaan di atas hari-hari yang lain.
Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka.Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah disepakati kaha-ramannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, “Selamat hari raya (dan yang semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjeru-mus ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid’ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah”. Demikian ucapan beliau rahimahullah!
Setiap muslim harus merasa bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di dalam hal ini adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah disepakati oleh para shahabat Radhiallaahu anhu, sebisa mungkin kita pertahan kan penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung. Kaum muslimin sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad), selalu menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini, tidak perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu.
Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan Allah dan laknatNya. Hendaknya ia mengambil petunjuk hanya dari Allah dan menjadikan Dia sebagai penolong.
(Dinukil dari Fatwa Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi tentang Perayaan Milenium Baru tahun 2000.
Tertanda
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh
Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadyan, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syakh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)
(Dikutip dari terjemah Kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid, Penulis Dr Shalih bin Fauzan)
Satria Dharma
Jun 26, 2008 @ 03:08:41
Bung Kambuno,
Mengapa menggunakan fatwa dan pendapat dari ulama Saudi Arabia? Apakah mereka lebih tinggi ilmunya ketimbang ulama Indonesia, misalnya? MUI TIDAK MELARANG ucapan selamat natal. Dr. Quraish Shihab juga tidak.
Silakan baca berikut ini.
Selamat Natal Menurut Al-Qur’an
Oleh : Habib Dr. M Quraish Shihab
Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam
bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau
mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.
Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: “Ada anak
sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma
ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.
Kalau ada yang datang katakan: ‘Aku bernazar tidak
bicara.'”
“Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk.
Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina,”
demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di
gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya
menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang
bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah
yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta
mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa:
“Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku
pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari
ketika aku dibangkitkan hidup kembali.”
Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34.
Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan
selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa
a.s.
Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah
Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam
yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga
Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya
kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus
percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba
dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam
untuk. mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh
nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir
(natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari
keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa
‘Asyura, seraya bersabda, “Kita lebih wajar merayakannya
daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s.”
Bukankah, “Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?”
seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat
bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut
kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau
batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih
kurang pandangan satu pendapat.
Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih
yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah
disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang
tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti
untuk merujuk kepercayaan kita.
Isa a.s. datang mermbawa kasih, “Kasihilah seterumu dan
doakan yang menganiayamu.” Muhammad saw. datang membawa
rahmat, “Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit
merahmatimu.” Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena
itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.
Isa menunjuk dirinya sebagai “anak manusia,” sedangkan
Muhammad saw. diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: “Aku
manusia seperti kamu.” Keduanya datang membebaskan manusia
dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan.
Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit
telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan
kekeliruan mereka dengan berkata, “Dia tidak mati, tetapi
tidur.” Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra
Muhammad, orang berkata: “Matahari mengalami gerhana karena
kematiannya.” Muhammad saw. lalu menegur, “Matahari tidak
mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang.”
Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah
dan tertindas -dhu’afa’ dan al-mustadh’affin dalam istilah
Al-Quran.
Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan
Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa’
(Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut
Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya
mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat
dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang
dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan
selamat natal itu?
Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim
mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan
ritual . Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata
yang melarangnya.
Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat
dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan
dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa
pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama
kerukunan.
Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas,
dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan
dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu
kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai
dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak
disalahpahami. Kata “Allah,” misalnya, tidak digunakan oleh
Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami
masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki
Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah
Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada
wahlyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun
bertanya, “Dimana Tuhan?” Tertolak riwayat sang menggunakan
redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan
pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil
pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama
bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan,
tetapi “wujud Tuhan.”
Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia
agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen
yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan
Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri
perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat
mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami
sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan
yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan
kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu,
sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat,
aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak
dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.
Adakah kacamata lain? Mungkin!
Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya
memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman,
agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang
dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada
seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya
atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat
Natal” Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan
situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan
kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain,
maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah
yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan
dan menghayati satu ayat Al-Quran?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan,
Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan
bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau
keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan
memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan
keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah
ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun
non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan
keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang
memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis
keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka
interaksi sosial.
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu,
bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai
akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang
membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana
dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal
tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah
berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian
umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas
dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita
dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh
umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat
kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan
ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah
kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari
kebangkitannya nanti.
Pemerhati
Jun 29, 2008 @ 15:01:21
Pak Satria, saya memahami substansi pemikiran anda. Di alam Indonesia, pemikiran [tentu juga tindakan] yang anda utarakan layak dikembangkan. Sayangnya, kurang banyak blog-blog di dunia cyber yang seperti anda miliki ini. Mayoritas blog ‘kurang menyejukkan’ dan ‘kurang bersahabat’ dengan orang dari agama berbeda. Terlalu banyak hakim di negara ini. Saya berharap anda tidak lelah untuk terus menulis.
ziyad
Jan 01, 2009 @ 17:40:11
Pak Satria Dharma
Anda berbicara agama tanpa dasar agama, inilah yang menyebabkan pemikiran anda nyasar. Kalaupun anda sempat menukil Quran atau Hadits, tetap saja anda berusaha membelokkan makna yang terkandung dalam Quran dan Hadits tersebut.
Quran dan Hadits bukannya tidak boleh di tafsirkan oleh siapapun, anda salah kalau menuding orang Islam berfikir seperti itu. Quran dan Hadits boleh ditafsirkan oleh siapapun, tetapi tentunya yang memiliki syarat dan kemampuan. Contoh menafsirkan Quran syarat minimalnya hafal Quran baik lafal maupun artinya, faham dan mengerti bahasa Arab, dll.
Untuk kedua syarat tersebut saja apakah anda sudah merasa memilikinya?
Itu dulu, nanti kita lanjutkan.
Satria
Jan 01, 2009 @ 22:30:00
Fahami baik-baik apa yang Anda sampaikan dan jangan cuma mengunyah ulang kata orang tanpa memahaminya. Dalam satu kalimat saja Anda sudah menampilkan kontradiksi. Coba baca baik-baik lagi kalimat Anda berikut ini.
“Quran dan Hadits boleh ditafsirkan oleh SIAPAPUN, tetapi tentunya yang memiliki syarat dan kemampuan. Contoh menafsirkan Quran syarat minimalnya hafal Quran baik lafal maupun artinya, faham dan mengerti bahasa Arab, dll.”
Jadi yang benar yang mana? Bahwa SIAPA PUN bisa atau KHUSUS bagi orang yang hafal AlQur’an dan mengerti bahasa Arab?
Kalau menurut Anda saya tidak boleh menafsirkan (atau memahami) AlQur’an dengan pemahaman dan pengetahuan saya sendiri maka bukankah itu berarti Anda juga tidak boleh menilai atau pun menghakimi pemahaman saya? Never think about it?
Salam
Satria
Budiyana
Des 07, 2009 @ 09:48:46
Maaf.. melihat photo anda di blog ada hal yang menurut saya sebagai muslim kurang sreg yakni berbangga bangga berfoto di negara kafir yang disitu terlihat wanitanya tidak tertutup auratnya, apa tidak sebaiknya yg auratnay terbuak sedikit di bluuur aja.. terima kasih ini sekedar masukan dan tulisan saya ini tidak usah di tampilkan di komentar..di remove aja.. terima Kasih Pak.. Any way tulisan Bapak sangat bagus..trutama menegnai entrepreneur.
pap4dk
Des 19, 2009 @ 04:11:13
Diskusi yang bagus di blog seorang muslim yg berfikir logis. Seandainya anda itu mayoritas, saya yakin Islam melesat maju. Sayangnya mayoritas adalah kaum sami’na wa ato’na, dan merasa paling benar.
… internet ini lebih berbahaya dibanding mengucapkan selamat Natal …
Kristianto Ike Wiharjo
Des 22, 2009 @ 20:10:40
asshallomm….
selamat pagi bapak…yah kalo anda melihat cara salam saya, saya adalah seorang kristiani[straight but not a fanatic].
saya secara ga sengaja baca blog ini pagi2, dan WOW…
anda seorang yang menarik dan saya harus akui bahwa sangat jarang sekali saya nemuin orang [muslim] seperti anda yang mempunyai cara pandang yang berbeda dari yang lain dengan mengambil segala resikonya…
tetep pada jalur anda…dan saya harap and anda bener2 tulus dan murni tanpa ada embel2…
lain kali saya akan coba berbagi hal tantang “kami” kalo anda berkenang…
sebelumnya, sedikit latar belakang saya adalah dari keluarga multi- religi…
salam hangat dari saya
kristian
ashalloom…
rifi
Des 24, 2009 @ 14:41:45
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Menurut saya tulisan pak satria cocok jika semua umat islam cara berfikir, tingkat pemahaman, keimanan, dan lain memiliki kualitas yang sangat baik dan merata. Artinya dia sudah tahu betul ilmu tauhid dari para jumhur Ulama (ngaji), sudah kenyang betul mengkaji semua kitab tauhid sehingga keyakinan dan batas-batas ketauhidan sudah terjaga.
Siapa yang bisa menerka hati seseorang…..Batasan antara musrik dengan tidak musyrik sangat tipis. Jangan saja menduakan Alloh dengan tuhan selain Alloh, dengan sesuatu benda saja dimana benda tersebut dianggap segalanya bagi orang tersebut (misal uang/harta, dll) sudah katagori musyrik.
Hal ini bukan semata-mata membatasi kita dalam cara bergaul. Tapi menjaga, karena yang namanya Iman memiliki sifat Yaziidu Wayanqushu, kadang nambah kadang berkurang.
Imam Khumaeni mengucapkan Natal kepada Pastor, wajar saja…kita sudah sepakat ke-ulamaannya dan kekuatan imannya…coba kalau umat islam yang kesehariannya hanya disibukan dengan keduniawian, kemaksiatan, preman, atau yang nggak pernah menyentuh/jarang mengkaji ilmu Alqur’an….siapa yang bisa jamin kekuatan hatinya. Siapa yang bisa jamin bahwa dia bisa menjaga hatinya detik-demi detik….
Fatwa MUI adalah sikap kehati-hatian ulama karena melihat tingkatan keimanan setiap orang berbeda-beda.
Apakah ada yang kurang, kalau kita cukup memberikan kebebasan, kenyamanan, keamananan beribadah pada umat kristen.
Masih banyak muamalah lain yang tidak melibatkan masalah akidah dengan umat lain. Sehingga sosial kemasyarakatan yang beragam ini tetap terjaga.
Teman-teman saya pun banyak dari kalangan umat kristen, buda, hindu, dan bahkan pertemanan kita sangat dekat. Dan semua itu tidak rusak ketika saya tidak mengucapkan selamat natal kepada teman saya yang agama kristen, karena saya sudah menjelaskan alasannya. Tapi saya tetap membantu ketika mereka ada yang sakit, butuh pertolongan, mengucapkan selamat ulang tahun, pinjemin uang, makan bareng, mengundang makan, diundang makan. Tidak ada batasan dalam bergaul.
Hatur Nuhun
Satria
Des 24, 2009 @ 23:18:01
Salam juga untuk Anda Bung Kris. Terima kasih telah berkunjung ke blog saya. Semoga kita bisa menciptakan kedamaian di dunia ini.
Satria
Des 24, 2009 @ 23:22:58
Siapakah kita yang berani meyakini bahwa iman Imam Khomeini kepada Allah lebih tinggi daripada manusia lain yang kelihatannya tidak paham tentang agama? Keimanan itu sesuatu yang tidak bisa kita ukur dengan wujud simbol-simbol kesalehan karena itu adalah rahasia Allah semata dengan mahluknya.
Anda sendiri mengatakan ‘Siapa yang bisa menerka hati seseorang…..Batasan antara musrik dengan tidak musyrik sangat tipis.’ lantas mengapa Anda bisa menduga tebal tipisnya iman seseorang sehingga mengira bahwa dengan mengucapkan selamat natal maka akidah seseorang bisa berubah? Bukankah tanpa mengucapkan apa pun akidah bisa berubah?
Pernahkan Anda benar-benar berpikir apa sebenarnya tindakan yang dapat mengubah akidah kita? Dalam hal apakah akidah kita bisa berubah? Bagaimana kita bisa mengetahuinya (sehingga kita bisa menganggap bahwa hal tersebut dapat mengubah akidah orang lain)?
Berhati-hati itu baik tapi menilai sesuatu yang merupakan rahasia hati adalah gegabah.
Saya menghargai jika Anda tidak bersedia mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepada teman Nasrani Anda tapi sebaiknya jangan menganggap bahwa itu adalah sikap yang lebih utama ketimbang yang melakukannya. Anda tidak tahu pahala apa yang disiapkan oleh Allah bagi setiap mahlukNya.
Jika Anda menganggap bahwa mengucapkan Selamat Natal saja bisa mengubah akidah seseorang maka coba bayangkan jika kita memakai kaos bertuliskan OSIRIS. Apakah itu tidak lebih ‘berbahaya’ bagi akidah? 🙂
Sila baca tulisan saya tentang ini di https://satriadharma.wordpress.com/2007/05/31/osiris/#more-33
rifi
Des 25, 2009 @ 02:20:18
Pandangan saya terhadap imam khomeini atau ulama-ulama lain yang setipe dengan khomeini sebenarnya sederhana saja. Saya hanya melihat latarbelakang beliau sebagai ulama, kehidupan ruhaninya, keilmuannya, dan gurunya. Sebagaimana saya meyakini sebuah hadits itu shohih karena melihat perawi dan sanadnya.
Saya hanya berkeyakinan, kita jangan menganggap sepele terhadap ucapan kita yang keberadaannya sangat tipis antara benar atau tidak. Bilang cerai saja sama istri (walau hati tidak meng iyakan) sudah jatuh talak satu. Saya mengambil analogi tersebut karena menurut saya memiliki resiko sama, hanya perwujudannya beda (satu istri, satu agama).
Yang ditakutkan oleh saya, kita mengucapkan selamat natal kita membenarkan keberadaan nabi isa sebagai tuhan , walaupun di satu sisi kita menyembah Alloh. Karena salah satu cara untuk menjaga hati kita adalah UCAPAN kita.
Kenapa Rosul menyuruh kita memperbaharui iman kita dengan selalu membaca LAILAHA ILLALLAH (membaca artinya mengucapkan). Kenapa orang yang mau meninggal harus dituntun untuk membaca Dua Kalimat Syahadat.
Dari ucapan akan mendidik hati untuk mengikuti ucapan, dengan hati yang sudah terdidik dengan ucapan akan menggerakan seluruh aktuator yang ada pada tubuh kita.
Mulailah kita menggunakan baju OSHIRIS, lama-lama beli kalung salib dan seterusnya. Padahal “lingkungan” sangat kuat membentuk kepribadian, hati dan prilaku seseorang.
Ucapan Hikmah seorang ulama ” Kalamul Mar” Mizanu Aqlihi” Akalnya seseorang itu bisa tercermin dari ucapannya.
Hatur nuhun kang,
Satria
Des 25, 2009 @ 07:42:17
Kalau Anda sudah mengucapkan “Cerai!” kepada istri Anda maka itu dampaknya langsung ke istri Anda. Ini analogi yang salah. Tidak percaya…?! Coba sampaikan kata :”Kamu bau busuk.” pada istri kita WALAUPUN itu sekedar main-main dan lihat akibatnya. Tapi kalau Anda mengucapkan Selamat Natal kepada teman Nasrani Anda maka Anda akan mendapat respek darinya (dan saya jamin belum pernah ada kasus orang perlu harus pindah agama karenanya). 🙂
Anda takut seseorang tergelincir menjadi menuhankan Yesus hanya karena mengucapkan “Selamat Natal!” kepada seorang teman…?! Sudah Anda pikir benar-benarkah pernyataan ini? Seperti apakah akidah itu menurut Anda sehingga karena mengucapkan selamat Natal seseorang bisa menjadi rusak akidahnya? Lha Anda itu mengucapkan Selamat Natal atau mau pindah agama?! 🙂
Kira-kira pernahkah Anda menemukan SATU SAJA kasus dimana seseorang karena keseringan mengucapkan Natal akhirnya pindah agama? 🙂 Lha kalau tidak pernah dengar kenapa harus cemas?
Kalau Anda dipaksa pakai kalung salib selama semnggu berturut-turut kira-kira berubah nggak akidah Anda? 🙂 Sungguh saya tidak menemukan logikanya di sini selain kekuatiran yang tak beralasan.
“Akalnya seseorang itu bisa tercermin dari ucapannya.” kata Anda. Lantas apa hubungannya ini dengan akidah?
Salam
widya
Des 26, 2009 @ 00:46:22
assalammualaikum ….
pak satria darma anna bariu minkum…saya berlepas diri dari anda…..setelah membaca artikel dan tanggapan di blog bapak smoga Allah memberi petunjuk dan hidayah buat bapak..
jazakallah….
Satria
Des 28, 2009 @ 22:58:32
Wa alaikum salam warahmatullah,
Widya, saya bahkan baru tahu bahwa Anda pernah berpegangan pada saya sehingga perlu menyatakan berlepas diri dari saya. 🙂 Syukurlah kalau begitu!
Terima kasih atas doanya dan doa yang sama saya panjatkan untuk Anda dan keluarga. Amin!
Rahmadsyah
Des 30, 2009 @ 13:27:19
Assalamu’alaikum wr.wb
Pak Satria yang baik…
Saya penasaran dan ingin tau lebih lanjut. Bapak sudah menyatakan bahwa ucapan selamat Natal bagi bapak Satria tidak ada meaning apa-apa, just say hello. Sama sperti selamat ulang tahun, selamat atas promosi (mohon koreksi jika salah faham)…
Kemudian, bapak lebih 2 kali mengulang statemen bahwa 25 desember bukan kelahiran Yesus. dan di Barat perayaan natal bukan lagi perayaan Agama. (Alangkah indahnya jika statemen ini disampaikan berdasarkan riset agar masuk logika)… Pertanyaan nya apakah semua orang barat seperti itu? dan yang dimaksud barat, apa persisnya…
Kalau dibarat bukan perayaan Agama, Lantas bagaimana dengan indonesia ? Menurut bapak, bagaimana pandangan orang kristen yang merayakan natal sebagai Ibadah Agama, namun bapak mengucapkan hanya say biasa saja… Kira-kira bagaimana perasaan mereka… Saya yakin bapak tidak mengakui, sehingga tidak megnatakan bahwa ucapan itu sebagai ucapan selamat agama ?
Pertanyaan ini bagi saya, untuk memahami lebih dalam penjelasan-penjelasan bapak yang tersirat (menurut pemahaman saya yang dhoif dan bahlul ini)…
Syukran pak ya, Atas jawabannya…
Buana
Jul 21, 2010 @ 03:20:33
Pak Satria yg sya hrmti,,
artikel bpk bgus! Alangkah bgusnya bpk brtobat kpda Allah
ini suatu langkah org2 kfir dlm misi mnghncurkn Islam!
Smga Allah sllu mlindungi kaum Muslim..
mar'atus s
Sep 30, 2010 @ 12:14:27
asalammualaikum,,,saya ikut nanggapin boleh nggih mas..(sbg org awam).sebenarnya bs jadi mengucapkan slmt hari raya kpd nonis itu tergolong masalah atau tergolong hal yng biasa aja.Masalahnya cuman satu mas yang saya masih bingung..kalau mengucapkan berarti artinya kita ikut bersenang hati (sama seperti kita mengucapkan salam, atau ucapan selamat menikah,dsb)n ikut berbahagia,lantas pertanyaannya kita ikut berbahagia atas apa??atas hari lahirnya Isa?yang itu sangat dipertanyakan kebenarannya?
Seorang muslim juga tidak asal bertindak saja atas dasar solidaritas.saya punya dosen yg kuliah di jepang, setiap sabtu n minggu beliau brsama teman2nya (org jepang)berkumpul sambil minum shake,beliau mengatakn bhwa bukan peminum alkohol n sejenisnya.Teman2nya sangat menghargai (dan beliau hanya minum jus)tnp mengurangi kenikmatan mengobrol.
Artinya jangan takut untuk memegang prinsip,,karena sesorang akan menghargai kita dari keteguhan berprinsip,toh bila kita menjadi muslim yang kaffah banyak jalan (bahkan hampir setiap jalan)terbuka untuk menjalin muamallah yang bernuansa tenggang rasa (Ex.menjenguk orang sakit apapun agamanya menjadi sunnah muakad)
itu saja,,mngkn kiranya saya tak pantas untuk menasehati,bahkan sekedar sharing,ini hanya kekhwatiran semata kepada teman satu akidah atas pemhman yang berbeda.nyuwun ngapunten kagem lepat,,matur nuwun
jf
Jun 02, 2011 @ 11:35:19
menurut yg saya tahu kurang bagus, karena agama yang sesungguhnya adalah ISLAM..dalilnya lagi nyari ni
google.com
abul
Jun 11, 2011 @ 23:09:26
assalamu alaikum warahmatullahiwabarakatuh
saya nyimak aja dulu pak satria….
sayasih masih melihat dari sisi akhlak… 🙂
arie
Jan 01, 2012 @ 04:08:02
assalamualaikum… pak satria.
sebenarnya tujuan anda membuat bloq ini utk apa?…
menjaga islam atau malah merusak islam?
kl anda merasa ada yg mengganjal dengan isi fikiran tntg islam (apapun itu) , anda bisa lgsg menanyakan kpd org yg ahli dlm hal itu (dlm islam saat ini… yg tertinggi adalah para ulama), bkn mengutarakan pendapat dgn bloq umum (yg dpt memecah belah islam, dan yg pasti disenangi oleh org kafir).
kl semua org islam seperti anda (melaksanakan syariat islam berdasarkan pemikiran masing2), apa jadinya islam…
belajarlah utk memahami islam scr benar, (walaupun itu tdk sesuai dgn pendapat anda)… krn yg anda bahas ini bkn ilmu pengetahuan umum, tp ilmu pengetahuan agama.
kalaupun mgkn anda tdk puas dgn pendapat dr 1 ulama maka coba cari pendapat dr ulama yg lainnya, dan apapun hasilnya tdk perlu anda buka secara umum. kecuali anda memang mengejar popularitas…
wassalam…
(maaf, kl bahasanya krg enak dilihat, tp mhn dicermati maksudnya)
Satria Dharma
Jan 03, 2012 @ 03:43:23
Bung Arie, yang benar itu ‘blog’, bukan ‘bloq’. 🙂
muslimah
Jul 23, 2012 @ 04:59:40
assalamu alaikum..
blognya bagus sekali.. wlaupun sy agak pusing karena perdebatan. memang setiap orang punya pendapat masing-masing. kita patut menghargai pendapat itu.
pak satria hanyalah ingin mencari sebuah kebenaran tentang pendapatnya
dan para komentar juga ingin menyadarkan pak satria
tp menurutku negara kita adalah negara berbagai agama, kita harus saling bertoleransi tapi jgn sampai merusak akidah..
saya juga pernah di ajar oleh guru saya. jika mengucapkan selamat natal pada umat kristiani tidak akan merusak akidah, kcuali jika kita ikut ke gereja berdo’a.
saya jg punya teman umat kristiani dan setiap lebaran dia selalu mengucapkan selamat idul fitri kepada saya..
mungkin hanya itu yang saya sampaikan… sy harap bisa dapat ilmu bermanfaat dr pak satria dan komentator
wassalamu alaikum..
nuridarahma
Jan 05, 2014 @ 04:53:53
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tulisan yang menarik. Akan tetapi, mohon maaf, bagi orang Islam yang belum begitu memahami agamanya, tulisan Anda ini bisa menjadikan mereka semakin ‘nyasar’. Maaf sekali lagi, iman orang yang membaca blog Anda berbeda-beda. Tingkat pemahamannya juga berbeda-beda. Ujung-ujungnya, saya khawati, mereka akan berpikir bahwa semua agama itu baik, kita harus menjunjung toleransi antarumat beragama, apalagi di negara majemuk seperti Indonesia ini. Padahal ini (semua agama sama-sama baik) tidak dibenarkan, bukan?
Begini Pak, saya bicara begini bukan tanpa dasar. Ini saya alami sendiri. Dulu saya pun hampir selalu ‘mengikuti’ perayaan Natal, mengucapkan selamat natal dan bahkan berkunjung ke rumah mereka, selayaknya ketika Hari Raya Idul Fitri. Saya dibesarkan di keluarga muslim dengan ilmu Islam yang bisa dibilang ‘kurang’ . Orang tua saya memiliki banyak relasi orang Kristen, sehingga untuk menghormati mereka, kami ‘ikut merayakan’ Natal setiap perayaan itu tiba.
Waktu itu saya masih SD/SMP, saya pun senang-senang saja. Orang tua saya tidak pernah mengatakan Islam dan Kristen sama, tapi tidak juga mengatakan mereka berbeda. Maka waktu itu saya ambil kesimpulan Islam dan semua agama di Indonesia itu baik, tidak ada yang bermaksud jahat terhadap umatnya, hanya saja Tuhan dan cara beribadahnya berbeda. Itu pemahaman saya ketika itu.
Jika waktu itu saya membaca tulisan Anda ini, mungkin sebagai orang yang masih terombang-ambing karena ilmu pengetahuan Islam yang kurang, saya akan meneruskan ‘ritual’ saya setiap bulan Desember ini. Saya juga akan masih berpegang pada kalimat ‘semua agama baik’, sekali lagi karena pemahaman yang kurang.
Kini seiring bertambahnya usia dan pemahaman cara berpikir, saya banyak mendapat pengetahuan dari sana-sini. Sesungguhnya satu-satunya agama yang diridhai Alllah SWT di muka bumi hanyalah Islam. Saya menyesal dulu pernah berpikir semua agama baik. Sebuah kekhilafan yang, tentu saja, diizinkan Allah.
Anda menulis tulisan yang penuh pro dan kontra ini pun telah diizinkan Allah, agar orang-orang yang berpikir dapat menarik pelajaran.
Saya percaya Anda menulis ini dengan maksud baik. Saya pun sekarang bisa melihat sudut pandang lain bila kita ingin mengucapkan ‘selamat natal’, yaitu anggap saja kita sedang memberi salam kepada Nabi Isa a.s, bukan mengakui kelahiran Tuhan umat Kristen.
Tambahan, dalam tulisan Anda di atas, mungkin Anda memang berbicara tentang ‘menilai keimanan ORANG LAIN’, tapi di komentar saya yang cukup panjang ini, :P, saya menekankan tentang ‘keimanan DIRI SENDIRI’.
Terus menulis Pak!
Wassaamu’alaikum Wr. Wb.
Grimmjaw Rox
Jul 08, 2014 @ 18:11:57
gua kadang bingung gan, kenapa umat nasrani sering dikatai kafir…..padahal kafir itu kan, istilah buat orang2 yg tidak bertuhan . bagi saya itu tanda bahwa kita manusia ‘buta’ dan menuduh orang lain semaunya sebagai kafir, dan bahkan ada yg sampai ‘membunuh oleh nama tuhan’ , padahal sebenarnya nyawa dan bagaimana hidup dia kelak dibumi n diakherat itu kuasanya tuhan, bukan manusia.
permasalahin keimanan, banyak yg make alesan itu. klo ngucapin selamat natal itu merusak akidah lah ini-itulah…..padahal sadar-ga sadar….si ‘kafir’ yg disebut2 itu hidup ditengah kita , mereka menghormati dan bisa menerima yg berbeda agama dgn mereka dgn lebih baik.. buktinya, mereka mau mengucapkan selamat hari romadhon dll utk yg muslim, dimana yg muslim malah cenderung anti, tapi mau-mau aja dapet parcelnya dari si ‘kafir’ :v (pinter kodek)
kebanyakan orang selalu cari alesan dari text book, di quran gini ayatnya, kata kyai/ulama besar islam gue gini katanya….dan ga mau mikir pake otak sendiri…..padahal baik ayat/hadis dll, itu harus dipahami oleh akhlak dan nurani ai individu itu sendiri.
dan lagipula, agama kita sekarang kan rata2 karena bawaan/ajaran dri orang tua….:v
(ps: kebayakan org jadi atheis itu karena mereka kecewa dengan tuhan, or kecewa oleh umat tuhan yg ‘ga pake akal budi’, katanya beragama…katanya agama itu baik….koq masih suka perang? koq masih suka make kekerasan/anarkis?………..itu jadi tabokan telak bagi umat beragama untuk memperluas pandangan mereka, dan tidak menjerumuskan org lain jadi atheis, maaf, dimata kuliah fenom agama….dosennya rada pesimis ngelihat org2 spt itu)
Assalam’