Jadi alangkah mulianya jika kita bisa membuat sendiri sekolah yang bertaraf internasional agar siswa-siswa kaya tersebut tidak perlu harus ke luar negeri bersekolah dan devisa kita tidak tersedot. Tapi itu hanya satu alasan. Ada alasan lain yang tentunya tidak kalah mulianya tujuannya.
Meski demikian tentu saja ada orang-orang usil yang mempertanyakan mengapa harus ada sekolah bertaraf internasional segala. Kritik tentang ini bisa dilihat di sini
dan sini
Salah satu komponen paling penting dari SBI ini katanya adalah kurikulumnya mengacu ke kurikulum yang digunakan oleh negara-negara OECD. Dan karena sekolah tersebut menyandang nama ‘Internasional’ maka para gurunya mesti sering mengadakan studi banding ke negara-negara yang pendidikannya maju macam Singapore, Jepang, Belanda, dll. Pokoknya negara-negara OECD lah! (Bagi yang belum tahu apa itu dan mana saja negara OECD itu silakan lihat ke sini
Kenapa Negara-negara OECD dijadikan sebagai acuan? Ya karena mereka adalah negara maju dunia dan semestinya mempunyai kualitas pendidikan yang toplah! (Tapi kalau Anda sudah mengecek negara mana saja yang termasuk negara OECD maka saya minta maaf karena salah satu nama negara yang saya sebutkan di atas ternyata bukan termasuk anggota OECD). Oh ya, OECD itu singkatan dari Organisation for Economic Co-operation and Development.
Jadi begitulah… Once upon a time beberapa orang guru SBI kita berkunjung ke sebuah sekolah di negara OECD, yaitu Jepang. Dan seperti jamaknya dalam sebuah kunjungan maka kita tentu akan menjelaskan asal kita dan dimana kita mengajar..
“ Kami adalah guru-guru dari Indonesia yang datang ke negara Anda untuk belajar dan menyerap ilmu dari sekolah Anda yang termasuk dalam Negara OECD. Kurikulum kami mengacu pada negara-negara tersebut” Bu Murni, liaison officer rombongan ini mengawali dengan kerendahan hati.
Tentu saja para guru Jepang tersebut senang dan bangga bukan main disebut sebagai sekolah rujukan karena menyandang predikat sebagai Negara OECD (meski mereka juga kurang tahu apa itu OECD dan mengapa kurikulum sekolah mereka dianggap unggul dan hebat). Kembang kempis hidung mereka mendengar hal ini. “Arigato… Arigato Gozaimas…!’ ucap mereka berkali-kali sambil membungkukkan badan berkali-kali. Tanpa mereka sadari ternyata sekolah mereka adalah sekolah rujukan bagi sekolah negara lain, paling tidak bagi negara Indonesia yang dulunya merupakan Saudara Muda. Siapa sangka…?!
“Kami berasal dari Sekolah Bertaraf Internasional!” lanjut Bu Murni dalam bhs Inggris.
“Oh ya…! Ini sungguh menarik.” sahut seorang guru Jepang,”Mengapa sekolah Anda disebut sekolah bertaraf internasional? Apakah Anda mengajar anak-anak para expatriate?”
“ Tidak. Siswa kami semuanya anak-anak Indonesia belaka. Sekolah kami adalah Sekolah Bertaraf Internasional dan bukan Sekolah Internasional.” Bu Murni menjelaskan perbedaannya.
Tentu saja guru Jepang ini heran karena mereka hanya tahu istilah ‘Sekolah Internasional’ di mana anak-anak dari berbagai negara asing belajar dengan menggunakan standar negara yang mendirikannya. “Lantas apa maksud dari ‘bertaraf internasional’ tersebut?” tanya mereka lebih antusias.’Apakah sekolah Anda mengajarkan budaya-budaya internasional?”
“Tidak juga.” Jawab Bu Murni. “Kami tidak mengajarkan budaya internasional atau internasionalisme.
“Lantas dimana letak internasionalnya?’ tanya mereka dengan kening berkernyit. Ini sungguh berbeda dengan apa yang mereka pahami sebelum ini. Dan mereka sungguh ingin tahu.
“ Mmm… karena sekolah kami menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.” Jawab Bu Murni dengan percaya diri. (atau ada yang bisa menjawab dengan lebih baik…?!)
“Bahasa pengantarnya bahasa Inggris…? Mengapa harus dalam bahasa Inggris…?” si Jepang kembali bertanya dengan penuh minat.
“Ya karena kami bertaraf internasional (gitu loh!)…. . Maksud kami… karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional dan untuk dapat berperan aktif dalam pergaulan dunia internasional maka siswa-siswa kami harus menguasai bahasa Inggris. Untuk itu kami membiasakan siswa-siswa kami untuk berkomunikasi dalam bhs Inggris.” Bu Murni tentu masih percaya diri dengan jawaban ini. Si Jepang manggut-manggut berusaha untuk memahami logika ini. Sungguh logis! Kalau mau diterima dalam percaturan dunia internasional ya mesti bisa bahasa Inggris dong!
Sungguh kagum para guru Jepang ini dengan konsep ini. Beberapa diantara mereka mendecakkan lidahnya. ‘Sekolah bertaraf internasional berarti menggunakan bahasa Inggris yang internasional tersebut’. Sungguh pas!
Alangkah hebatnya para guru di sekolah-sekolah di Indonesia! Pikir mereka. Mengajar di kelas dengan menggunakan bahasa Inggris sungguh tidak terbayangkan oleh mereka. Benar-benar internasional…! Berantakan otak mereka membayangkan bahwa mereka harus mengajar pakai bahasa Inggris dengan lidah cedal sushi ala Okinawa.
Tapi tunggu dulu…! Apakah para negara OECD tersebut menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah mereka? Ternyata tidak! Setiap negara OECD tersebut menggunakan bahasa daerah atau bahasa nasional mereka sendiri-sendiri. Di Jepang ya pakai bahasa Jepang, di Prancis ya bahasa Prancis, di Meksiko ya pakai bahasa Meksiko, orang Korea ya tetap pakai bahasanya, dst. Berarti mereka tidak ‘internasional’ dong! Tapi si guru Jepang mungkin tidak berani ‘menggugat’ konsep ‘international means English as language of instructions’ tersebut. Lagipula mana bisa para guru Jepang tersebut bersilat lidah dalam bahasa Inggris yang intenasional itu! Ngomong ‘welcome’ dengan benar saja susah kok. Jadinya malah ‘were kamu’. Jadi guru tersebut diam dan manggut-manggut saja. Sedikit demi sedikit kebanggaan mereka sebagai sekolah rujukan meleleh. “Ternyata mereka lebih hebat dari kami yang dirujuk…!” pikir mereka. Tanpa mereka sadari keringat dingin mengalir di balik jas sederhana mereka.
“Apalagi ciri dari sekolah SBI Anda…?!” Tiba-tiba seorang guru Jepang lain bertanya dengan bahasa Inggris terbata-bata. Kalau dites TOEFL mungkin guru tersebut tidak akan mencapai 400 nilainya. Bandingkan dengan guru SBI kita yang mesti mencapai nilai TOEFL di atas 500!
Bu Murni menarik nafas dan menjawab,”Sekolah kami itu menggunakan standar ISO 9001, versi sesudahnya, dan ISO 14000…. . “.
“Oooo…!” si guru Jepang cuma bisa melongo mendengar deretan angka ISO tersebut dan tiba-tiba merasa minder karena sekolahnya tidak pakai ISO-ISO-an. Bukankah itu berarti sekolah Jepang itu termasuk ‘Sekolah Ora ISO”…?! Diam-diam ia berjanji dalam hati akan belajar tentang “Kurikulum Negara OECD” yang begitu hebatnya sehingga menyaratkan ISO tersebut. Jepang rupanya sudah ketinggalan jauh dari Indonesia dalam soal ISO dan kini mereka tercampak dalam golongan sekolah “Ora Iso”.
Ketika para guru Jepang ini pada terdiam karena menyadari mereka masuk dalam golongan ‘Ora Iso’ maka semakin percaya dirilah para guru SBI kita.
“Sekolah kami mensyaratkan skor IQ minimal 130 bagi siswa untuk bisa diterima.” Sahut seorang guru.
“Untuk bisa diterima di sekolah kami siswa mesti membayar mahal. Tidak sembarang orang bisa masuk sekolah ini. Namanya juga ‘internasionaaaal…! Uangnya juga mesti internasionaaaal…!” sahut yang lain dengan nada teatrikal
“Sekolah kami mewajibkan siswanya memakai laftof!” sahut seorang guru dengan bangga. (mungkin maksudnya adalah ‘laptop’).
“Kelas kami semua sudah pakai LCD dan Infocus. Kami sudah lama meninggalkan papan tulis dan kapur karena sudah kuno dan tidak bertaraf internasional. Spidollah mainan kami sekarang.” Sahut guru SBI lainnya.
“Kami berencana untuk membuat kelas yang full AC, ada toiletnya dan reclining seat. Pokoke lengkaplah!” sahut seorang guru yang terinspirasi oleh bis malam eksekutif jurusan Jakarta – Medan.
“Eeee.. eta mah nothing. Nothing at all… In my classroom epri student pada main internet dan brosing-brosingan.” Sahut seorang guru SBI dari Cimahi tak mau kalah. Hatinya panas mendengar koleganya adu sesumbar.
Mendengar kehebatan sekolah SBI ini para guru Jepang semakin ciut hatinya. Ternyata Indonesia sudah demikian maju dibandingkan Jepang. “Apanya yang hendak dirujuk ke kami kalau begini…?!” keluh mereka dalam hati. Sampai saat ini mereka masih pakai papan tulis dan kapur. LCD dan proyektor…?! Mengajar pakai bhs Inggris…?! Siswa bawa laptop ke sekolah…?! Ini sungguh di luar pemahaman guru-guru Jepang yang lugu tersebut. Pantas saja bangsa Indonesia semakin pintar membajak produk Jepang! Demikian pikir mereka.
Hal ini tidak bisa dibiar-biarkan. Mereka harus membangkitkan kembali jiwa Bushido, Samurai, Ninja, Musashi, dioplos dengan Honda, Suzuki, Sanyo, dan Ajino Moto sekaligus. Mereka harus dapat mengejar ketertinggalan mereka dibandingkan sekolah-sekolah SBI ini!
Demikianlah saudara-saudara akhir dari cerita ini. Bukannya para guru kita belajar dari para guru dan sistem pendidikan di Jepang tapi yang terjadi adalah malah sebaliknya. Mereka berhasil membuat para guru di Jepang terbungkuk-bungkuk karena malu. Predikat Negara OECD yang disandangnya ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan Indonesia. Jepang harus belajar balik ke Indonesia, khususnya tentang program SBI ini.
Satria Dharma
Balikpapan, 5 Maret 2010
ELFARIDI
Mar 05, 2010 @ 10:12:13
NICE PSOT PAK… 😀 salam kenal mari saling kunjung dan komentar 🙂
Sri Rahayu
Mar 05, 2010 @ 14:45:07
Pak SAtria.
Saya suka banget dgn tlsn Bpk yg ini. Link-nya sy simpan d FB saya. Boleh ya Pak.
Salam Pendidikan
Mansur Ma'shum
Mar 05, 2010 @ 14:46:06
Kisah yang sangat menarik utk pemikiran lebih serius tentag SBI dan ISO. Kebetulan saya Ketua Komite Sekolah yg SBI dan ber ISO. Terima kasih.
sari
Mar 05, 2010 @ 17:50:17
Tapi aneh ya ko guru2 SBI dari Ind itu gak bertanya ke guru2 jepang apa kelebihan sekolah dan murid2 di jepang?
sari
Mar 05, 2010 @ 17:53:43
Kalo bicara teknologi perangkat mengajar kaya laptop, internet, LCD, dll itu kan sangat gampang diadakan di mereka. Justru yg tidak terkuat oleh tim itu adalah kelebihan soft kikil yg dimiliki guru dan murid di jepang. dan ini yg hilang di indonesia…soft kikil itu adalah “adab murid ke guru” atau “adab gakusei ke sensei”…itu yg membuat orang2 jepang sukses menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi.
sari
Mar 05, 2010 @ 18:18:40
ralat : terkuat = terkuak (terungkap)
Asril . BM
Mar 06, 2010 @ 00:36:37
Membaca tulisan ini saya agak bingung , apakah bangsa ini harus bangga atau malah harus Malu krn sok tahu. karena semua produk hebat yang Pak Satria sebutkan tadi hasil kreasi dari Orang yang belajar masih menggunakan kapur tulis . Sedangkan sarjana kita yang hebat-hebat lulusan
dari Perguruan Tinggi Top belum banyak kontribusinya untuk kemajuan Bangsa ini. Contoh sederhana banyak sarjana pertanian lulusan IPB yang bekerja di Bank menjadi tenaga pemasaran kartu Kredit. Sementara setiap tahun Negara ini harus mengimpor kebutuhan Pangan miliaran Rupiah. Ini Ironis bukan ??.
afrial
Mei 22, 2011 @ 14:41:45
Pak Asril bingung apakah kita hrs bangga atau malu???
Saya juga bingung, Pak Satria ini berbicara sebagai seorang “satria” atau bukan?? Makna yg dikandung tulisannya ini lugas atau sebaliknya ??? Bagi saya yg pas adalah makna sebaliknya …..
moso sekolah SBI cuma ngandalkan bahasa pengantarnya bahasa Inggris doang … sementara pernah diadakan tes bagi guru SBI, yg dapat toefle 400 cuma 16%. ISO .. ya iso iso wae ….
ya kan pak Satria ….. satria dikitlah menjawab nya … he he he he
rendy
Mar 06, 2010 @ 00:57:29
ceritanya lucu…tapi ada unsur peremehan dan terlalu cepat membanggakan diri.. saya juga pernah mengikuti studi banding ke sekolah jepang tapi bedanya masih disekitar jakarta aja…beda dengan bapak yang sudah sampai kejepang…alhamdulillah SEKOLAH INTERNASIONAL DI INDONESIA lebih unggul dan bisa ini itu pada hal kita tahu semua sekolah di indonesia tidak semuanya internasional …dibandingkan dengan sekolah yang ada di JEPANG.. tetapi yang perlu diingat masih banyak hal yang JEPANG lebih unggul dalam dunia pendidikannya…
semangat terus deh untuk dunia pendidikan indonesia dan jangan berbagga hati di awal…
terima kasih
sariphusin
Mar 06, 2010 @ 02:14:39
Luar biasa mas, bikin ketawa, kayanya cerita gurawan ya? Bukan kenyataan. Benar ga,
PakPur
Mar 06, 2010 @ 04:26:35
Wkwkwkw …. ya ampuuun Pak Satria … bisaaa ajaa … ampun deh .. Saya ketawa sejenak, lantas kemudian tergugu karena sedih yang amat sangat atas “dangkalnya” pemahaman sekolah (pendidikan) di bangsa ini. Jika begini keadaannya, sepertinya hanya tinggal menunggu waktu “keguguran pendidikan berwatak nasional/kebangsaan”. Hiks …
darmastuti
Mar 06, 2010 @ 05:56:41
Pak Satria,
Kebetulah saya pernah sekolah di Jepang tahun 1991. Kemampuan orang-orang Jepang melafalkan bahasa Inggris memang payah. Tapi, ketika mereka menulis runtut sekali Tampak pemahaman grammar dan kekayaan vocabs nya bagus. Kayaknya SBI memang agak salah kaprah. Sebenarnya kalau kita bicara berbasis ‘Internasional’ ya mestinya kurikulumnya juga mengacu pada sekolah Internasional. Bukan cuma bahasa pengantar pelajarannya saja yang bahasa Internasional (Inggris). Anyhow, ceritera bapak menarik dan membuat saya ketawa terpingkal-pingkal … maluuu!
murniramli
Mar 06, 2010 @ 08:57:44
Mudah2an bukan saya yg Bapak maksud dg Ibu Murni (saya keGR-an, sebab sy masih mahasiswa dan bukan LO SBI),
dan bukan dari tulisan di link ini cerita di atas berkembang
Saya sdh berikan jawaban di milis cbfe, sbgmana permintaan Bapak. Saya kirim hingga dua kali email tsb, tp kelihatannya nyangkut entah ke mana.
Satria
Mar 07, 2010 @ 06:04:11
Bisa ya bisa tidak. 🙂 Tapi cerita ini memang terinspirasi dari cerita seorang ‘Murni’ yang berkembang di milis.
Saya suka tulisan Anda. Keep writing ya!
Salam
Satria
ariyulianto
Mar 06, 2010 @ 14:59:08
hmmmmm……. , cerita yang menarik, antara ambisi dan realita, nice post, btw apa semua sekolah di indonesia nanti akan semuanya SBI ??? kalau sedang jalan2 sering ketemu sekolah bertuliskan SBI, RSBI SSN RSNN, belum lagi ISO yg bapak maksud, ck… ck… ck….., hebat memang pendidikan di indonesia, salut.
Saya jadi minder untuk membuat mobil dengan merek indonesia, yang dibuat oleh orang indonesia 100 %, sebab yang bakal laku nanti harus bermerek internasional 🙂
Eko Purwono
Mar 06, 2010 @ 16:39:44
Omosiroi desu ne, Cak Satria.
Perlu ditambahkan lagi agar para guru Jepang semakin minder kelebian lain dari SBI di negeri saudara muda ini.
Di setiap kota dan kabupaten di seantero Indonesia (bukan hanya di kota besar saja lho) memiliki minimal 2 SBI untuk setiap jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA.
Studi banding para guru itu tadi dibiayai sepenuhnya dari dana yang dihimpun dari orang tua siswa secara sukarela, bukan dana dari pemerintah.
Satria
Mar 08, 2010 @ 10:20:45
Betul, Kang Eko! Sayangnya hal tersebut tidak sempat terungkap dalam cerita ini. 🙂 Bisa lebih terkagum-kagum para guru Jepang tersebut dengan peran pendanaan orang tua yang ruar biasa tersebut. Sudah bayar pajak, eh! masih juga bayar biaya pendidikan di sekolah publik. Mahal lagi…! 🙂
Salam
Satria
progoharbowo
Mar 07, 2010 @ 03:51:44
hahaha.. lucu pak…. tapi sarat pemikiran…
anak saya juga bersekolah di kelas international sekolah negeri yang SBI juga….
salam,
roele
Mar 07, 2010 @ 03:56:51
Menarik! Saya jadi terhibur sekaligus prihatin dengan tulisan anda. Yang pertama, terhibur karena sebagai orangtua, saya sempat “ragu” menuruti kemauan keras anak bungsu saya yang menolak keras masuk SMA yang SBI di kota kami, sekolah negeri favorit tentu saja. Padahal syarat & ketentuan dapat kami penuhi. Katanya, “Buat apa? Temanku (kakak kelasnya) yang sekolah di sana bilang kalau kurikulumnya sama, pangantar bahasa Inggris juga nggak digunakan setiap saat…ngapain coba? Temenku aja nyesel…(bla…bla)…” Alhasil, dengan pertimbangan khawatir sang anak nantinya tidak “enjoy” dengan lingkungan sedangkan di sekolah yang dia pilih (dari SD, SMP & sekarang SMA dia sekolah di situ) adalah sekolah swasta yang tergolong “tidak murah” bagi kami, tapi belum SBI…memang, namun harus saya akui sekolah anak saya tersebut sangat jelas program kerjanya, komunikasi dengan orangtua sangat baik…pelayanan memuaskan, disiplin…dll. Dan saya yang sempat terpengaruh dengan SBI, sempat ragu, khawatir kalau anak saya “ketinggalan zaman”…karena tidak Internasional. Nah, tulisan anda “menghibur” hati saya sehingga kekhawatiran yang sempat hadir…jadi “ngaciiirr”….
Namun, yang kedua, sungguh saya prihatin dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini pada umumnya. Kebijakan pemerintah tampak berbuah kurang manis. Arahnya juga berubah-ubah… Memang tidak mudah untuk merubah. Proses pendidikan tidak seperti proses produksi sebuah benda. Keprihatinan saya semakin dalam manakala kenyataan menunjukkan bahwa kompetensi para tenaga pendidik kita yang masih lebih banyak di bawah standar. Maaf. Tapi ini terdapat di lingkungan persekolahan yang dekat dengan saya. Untuk memenuhi yang standar nasional saja ….”ngos-ngosan”…apalagi yang berbahasa internasional…dst…(“opomaneh sing internasional beneran sak kurikulum-kurikulumnya boz…?!?”)
Harapan saya hanyanlah para pakar, pemerhati pendidikan dan pendidik sejati…mari kita sumbangkan pemikiran yang cemerlang dan aplikasikan dengan karya nyata untuk mengubah atau membenahi ini semua!! Bagaimana? Sebuah tantangan indah bukan?
Salam
Satria
Mar 07, 2010 @ 06:06:26
Thanks atas tanggapannya, Roele! Untung anakmu menolak masuk sekolah RSBI. 🙂 Rupanya ia sudah cari-cari informasi dan tidak sekedar anut grubyuk. Ia punya pendirian. Aku salut!
Salam
Satria
Herlina
Mar 07, 2010 @ 08:21:24
Pak Satria,
jadi gimana sebaiknya ini,… apakah guru2 Jepang yang studi banding ke SBI kita? hehehe…
sugiharto
Mar 08, 2010 @ 07:54:39
Apakah kita harus benar-benar belajr dari Jepang, Yang terpenting apakah SBI benar-benar ilmunya Internasional. Jangan berbangga hati bila berbahasa Inggris tapi tidak tahu ilmunya, itu namanya ber-bohong… sekolah tidak hanya dapat berbahasa, tetapi yang lebih penting adalah mengembangkan ilmu! Hati-hati terhadap SBI yang hanya bisa berbahasa Inggris tetapi ilmu masih tradisional….
Silo
Mar 08, 2010 @ 08:07:29
(ijinkan ketawa dulu Pak) Hahahahaha, sangat lucu. cerita ini sangat mungkin juga terjadi di Indonesia. Istri saya mengajar Bahasa Jawa di SMPN2 Blitar (mengaku RSBI juga)..bagaimana jika harus mengajar Bahasa Jawa kepada orang Jawa tetapi menggunakan Bahasa nggris…hehehe
Satria
Mar 08, 2010 @ 09:44:28
Berikut ini tanggapan dari teman-teman di milis. Enjoy!
Bls: [cfbe] Sekolah Bertaraf Internasional…!
Wakkkkakak, ruar bias cara pengungkapannya.
Kebetulan saya ikutan dalam tim puskur saat perumusan konsep yang mempuahkan
penjaminan mutu SBI. Istilah OECD memang murni sumbangan pa’ Bambang Sudibyo
selaku menteri. Yang tertuang pada umumnya merupakan kompromi terkait
udang-undang yang sudah terlanjur lahir. Sejak awal saya dan beberapa teman
beranggapan bahwa SBI bukan pilihan tetapi kewajiban. Maksudnya, sebagai usaha
reformasi persekolahan yang memang sudah mendapat kritikan tetapi tidak kunjung
ada solusinya. Saat ada usaha perampingan kurikulum yang konon terlalu gemuk
(sekitar tahun 2000) menghasilkan kurikulum yang lebih gemuk lagi. Penggemukan
terjadi saat masing-masing keahlian mengedepankan perlunya kelengkapan dan atau
titipan kepentingan. Menurut saya saat iru SBI memang terobosan, hanya saja yang
bagaimana. Bahasa inggris sebenarnya just one of the vlafor. Saya sendiri
lulusan SD Bilingual (bahasa Indonesia/bahasa Batak)dan setelah berkesempatan
melanglangbuana ke beberapa negara yang
sebagiannya OECD ternyata ilmu berhitung di SDnya sama saja, hanya bahasanya
beda.
Memang istilah SBI, SSN apalagi rintisan dan lain-lain adalah pelecehan sitem
pendidikan kita, terutama terhadap usaha memajukan ‘local wisdom’.
Salam
benn
Re: Kunjungan Guru SBI ke Jepang : Once Upon a Time …
SBI..RSBI…sekolah internasional
kosa kata yang menghebohkan dunia persekolahan….
Minggu siang sampai sore saya berkesempatan reuni dengan beberapa rekan kuliah
yang sekarang jadi kepala sekolah nasional plus, owner sekolah nasional plus,
konsultan pendidikan, guru sekolah “internasional” dll.
Dalam acara itu banyak info yang baru ngeh bagi saya:
Sekolah Internasional, kriteria ini sebenarnya tidak ada. Mereka yang sudah
mendaftar jadi sekolah internasional nantinya dalam 2 tahun akan bingung karena
tidak ada peraturan yang jadi landasannya. Nantinya semuanya adalah sekolah
nasional…
Para pejabat diknas eh kementerian pendidikan itu ternyata baru ngeh…kalau
sekolah “internasional” JIS, BIS, SIS, dll itu adalah sekolah yang statusnya
dibawah yayasan dan yayasan itu Yayasan Indonesia, berarti tunduk kepada aturan
UU yang berlaku di Indonesia. Sekarang mereka kebingungan karena ada aturan yang
mewajibkan semua sekolah legal ikut UN nah…padahal selama ini mereka berasumsi
bahwa sekolah-sekolah internasional tersebut berada pada sistem tersendiri,
ternyata tidak… (kemana saja sih para pejabat itu?)
Bayangkan kalau siswa JIS (Jakarta International School) wajib ikut UN… siapa
yang akan heboh?
Seorang kepala sekolah, teman dekat saya bilang: Ngapain harus mendapatkan
sertifikat IB Diploma? Sertifikat Cambridge? A level, AP? Kalau tidak semua
negara mengakuinya? IB hanya di Eropa dan beberapa Universitas di AS, Cambridge
atau ICGSE juga tidak di kenal dibeberapa negara bagian AS, AP (Advanced
Placement) hanya diakui di AS saja.
Malah yang diakui di seluruh dunia adalah sertifikat lulus UN. Karena
Kementerian Pendidikan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu pasti dikenal dan
diakui oleh semua negara anggota PBB.
Juga seandainya siswa lulusan sekolah di Indonesia trus tidak lulus UN, hanya A
level, maka untuk bisa diakui dia harus ikut ujian penyetaraan di kemendiknas…
Heheheh UN lebih nginternasional dari pada IB…yang harga membershipnya saja $
8000 pertahun, belum segala kursus untuyk gurunya yang juga ribuan
dollar….hehehe semuanya dibebankan kepada ortu…
(tentu PROSES UN dan PROSES PEMBELAJARAN di Indonesia harus tetap dibenahi.)
Saya senang sekaligus bingung dengan informasi ini. Senang karena jadi “ngeh”
bahwa kalau sekolah di Indonesia..gak perlulah sertifikat internasional
macam-macam..jadi nggak usah bayar mahal yang nggak perlu.
Bingung karena ternyata aturan dan pejabat kemendiknas sendiri bingung dengan
aturan yang mereka buat sendiri. Tidak ada landasan yang baku dan standar di
negeri ini. Kalau ini dibuatkan pansus di DPR akan lebih heboh dari UU Perbankan
dan BI yang menghasilkan carut marut Century…
Weleh..weleh…
S Agung Wibowo
Bls: Bls: [cfbe] Sekolah Bertaraf Internasional!
Pa’ Agung, spirit dari SBI adalah pembenahan sistem pembalajaran/persekolahan di
negri tercinta ini. Entah siapa yang telah membawa issu ini kepada para politisi
senayan sehingga tanpa pengkajian yang mendalam tau-tau ada dalam uu dan pp.
Puskur telah berusaha memformulasikan Internasional versi nasional (bingungkan),
muncullah Pedoman Penjaminan Mutu. Lagi-lagi karena Mendiknas tidak mau tanggung
jawab dengan kurikulum nasional jadilah akad nikah sirih dengan KTSP. Yang pasti
jika ingin mendapatkan formulasi kurikulum SBI hingga rancangan silabus dengan
racikan bahan IB/Cambridge ada di Puskur, hanya saja sepertinya tidak ada yang
pakai. Puskur hanya difungsikan membuat model kurikulum termasuk KTSP, kalo mau
pake silahkan dan kalau tidak ya monggo. Memang karena ada anggapan penggunaan
kurikulum Inter (IB/Cambridge) ala Puskur tidak menjamin keberhasilan menempuh
UN ya tidak laku. Angan-angan sekolah Indonesia termasuk yang di kampung
mendapat proses
pembelajaran seperti JIS jelas ada. Untuk semntara waktu ya silahkan yang punya
uang dan bayar lisensi. Racikan Puskur dijamin tidak bayar lisensi hanya saja
penataan dalam organisasi Diknas masih belum ….
salam
benn
SBI bertentangan dengan UU? [Re: Bls: [cfbe] Sekolah Bertaraf Internasional]
Dalam koran Pikiran Rakyat edisi Sabtu (6/3), Ajip Rosidi membicarakan seorang
gubernur yang mengadakan rapat resmi dengan menggunakan bahasa Inggeris sebagai
bahasa pengantar. Beliau membenturkan keputusan pak Gubernur itu dengan UU RI
no. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan. Salah satu butir yang diangkat bung Ajip adalah isi Pasal 44 UU
24/2009. Tulis beliau, “Dalam Pasal 44, dengan jelas ditegaskan bahwa pemerintah
harus atau akan “meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa
internasional secara bertahap, sistematis dan berkelanjutan.””
[Baca tulisan Ajip Rosidi di
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=131110%5D
Saya jadi bertanya-tanya, tidakkah penggunaan bahasa Inggeris di sekolah dalam
pengajaran selain bahasa bertentangan dengan UU 24/2009 itu? Kalau pun
pertentangan itu tidak terjadi secara harfiah, mungkin secara semangat….
Salam,
–muchlis
Re: Bls: Bls: [cfbe] Sekolah Bertaraf Internasional!
Coba baca UU Sisdiknas, setahu saya definisi versi UU cukup jelas apa itu
sekolah nasional dan sekolah internasional, hanya saja sekolah bertaraf
internasional (SBI) yg juga disebut2 dalam UU tersebut tidak ada penjelasan
tertulis dlm UU, akhirnya munculah berbagai pedoman itu.
Jika sekolah “internasional” yg bukan resmi mewakili negerinya seperti JIS yg
mewakili USA didirikan dengan legal suport indonesia, yaitu yayasan lokal dan
diwajibkan ikut UN, itu sebuah keniscayaan (jangan debat dulu ini niscaya baik
atau buruk, hanya niscaya karena mereka berada dibawah payung hukum indonesia),
jikakalau tidak dan ingin lulusannya ikut tes masuk PTN di indonesia yg
menyaratkan nilai UN (setara), inipun keniscayaan pula (jangan debat ttg apakah
hasil ujian sekolah tersebut lebih baik dan absah dari pada UN).
email: nanang60@…
http://ahmadrizali.com
RE: [cfbe] Sekolah Bertaraf Internasional…!
Lha ada sekolah bertaraf nasional, internasional dan lokal, kok ujiannya cuma
satu yaitu ujian nasional. Sekolah internasional mestinya kan ujiannya
berstandar internasional, sekolah standar nasional ujiannya bolehlah Ujian
Nasional, lalu sekolah bertaraf lokal ujiannya juga mesti ujian lokal (lokal
tingkat propinsi atau kabupaten). Lalu sekolahnya berstandar macem-macem kok
ujiannya sama saja. Bagaimana ini ??????
Salam/WK
Awal Januari lalu, saya sempat ketemu seorang guru besar dari Indonesia di satu
acara di Kuala Lumpur. Beliau tertarik dengan presentasi riset saya dan akhirnya
berbincang hal lain yaitu SBI. Ternyata beliau mirip pak Ben ini, beliau adalah
konsultan untuk SBI pada saat mulai awal kebijakan itu disusun. Menurutnya SBI
yang disusun dengan bantuan pakar dari British Council, dirancang untuk kelas
tunggal saja di sekolah yang terpilih. Namun pak Menteri saat itu tidak setuju,
karena takut terjadi ekslusivitas. Akhirnya rencana awal pun berganti. Saat saya
ceritakan banyak versi SBI terjadi misalnya ada sekolah ‘SBI’ yang ngajar
MIPA-nya dengan English, ada juga sekolah punya kelas ‘SBI’, ataupun mempunyai
kelas paralel menjadi kelas ‘SBI’ (sehingga nanti jadi SBI beneran); beliau pun
rada sulit menjelaskan karena memang ini beda dengan rancangan awal.
Tampaknya memang begitu banyak kisah dibalik SBI, kadang tidak jelas mana yang
bunga asli ataupun bunga plastik :). Kalau membaca dokumen resmi (pedoman
penyelenggaraan SBI dari Dikmenum, Mandikdasmen) saya pun tidak habis pikir
kenapa ‘bisa begitu’ isinya, yang konon dulu menyewa pakar bermata biru,
konsultan yang profesor-doktor, maupun guru berpengalaman.
Sekarang memang nasi sudah menjadi bubur, siapa tahu ‘bubur SBI’ ini punya jalan
keluar yang cerdas, mungkin ada upaya perbaikan yang sistematis ataupun
roll-back policy :(.
wassalam,
Bambang
Hermawan
Mar 08, 2010 @ 17:54:43
Wah…Anda cukup “sadis” pak! Tapi benar juga, banyak SBI yang hanya bahasa dan buku pelajarannya yg bergaya internasional, tp sistem pembelajarannya masih tradisional.
Bahasa Inggris dipaksa dipake, akhirnya jadilah… di sana gunung, di sini gunung, di tengah2nya pulau Jawa. Gurunya bingung, muridnya juga bingung, nah yg baca postingan ini cuma bisa ketawa, hehehe…
chris d. tri
Mar 11, 2010 @ 10:40:18
hahahaha…wah, boleh tuh dibikin script buat pentas seni di sekolah anak saya! semua trejangkit virus yg sama, pak satria! virus bermerk internasional.
Sekolah paham, areal parkir pada jam antar jemput anak sekolah adalah cat walk, bagi pra ortu siswa utk emmamerkan koleksi baju, tas dan mobilnya. Artinya, pihak sekolah justru responsif kan, dan langsung menyedian menu internasional utk pilihan kurikulumnya Jadilah program SBI itu. hehe
Willy Ediyanto
Mar 14, 2010 @ 13:35:33
Ha ha ha. Gimana mau enggak tertawa sambil garuk-garuk kepala?
Bagaimanapun, SBI itu Sekolah Bingung Internasional. Yang jasi standar hanya bahasa pengantarnya. Semangat nasionalismenya entah kemana. Toh yang diajarkan materinya sama. Terakhir ujiannya UN juga. Saya sebagai guru bahasa Indonesia, menjadi sangat bingung seandainya pelajaran bahasa Indonesia bagi siswa Indonesia disampaikan dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Tapi kata mantan siswa saya yang sekolah di SBI, enggak begitu. bahasa Indonesia katanya tetap berbahasa pengantar bahasa Indonesia.
Mengajar menggunakan laptop dan proyektor, pernah saya coba selama setahun, hasilnya saya merasa jadi guru yang kesepian. Jauh dari siswa karena saya jadi tidakakrab dengan mereka. Saya lebih akrab dengan laptop dan proyektor. Siswa jauh di depan sana.
Ternyata masih sangat enak mengajar menggunakan kapur dan papan tulis hitam. juga terhindar dari bau bahan kimia tinta spidol. Masalah debu, menurut saya tidak masalah karena bulu hidung dan alat pernapasan kita mampu menyaring debunya, tapi tidak dengan aroma kimia bahan pembuat tinta spidol.
Tulisan saya tentang SBI ada di http://willyedi.wordpress.com/2009/07/06/di-sbi-bahasa-indonesia-seperti-bahasa-melayu/
aya lesmana
Mar 29, 2010 @ 13:22:25
Pak satria thx atas pencerahannya 🙂
aya lesmana
Mar 29, 2010 @ 13:27:29
Ok bgt pak n thx tulisan bpk membuat sy ‘melek’ akan pendidikan bravo 4u pak
Wanda
Apr 20, 2010 @ 04:59:35
Terima kasih Pak Satria, tulisannya membuat saya tertawa-tertiwi. Saya heran kenapa yaaa, para kepala sekolah tidak malu untuk memaksakan SBI disekolahnya. Sudah jelas, memakai bahasa Indonesia saja banyak murid yang belum paham mata pelajaran apalagi dipaksakan dalam bahasa inggris. Begitu juga Gurunya memakai bahasa Inggris yang masih dalam tahap belajar jadinya kayak orang tuli berbicara sesama oang tuli. SBI ini dalam pelaksanaannya adalah bagai sekolah-sekolahan yang palsu-palsuan yang dipaksakan manajemen sekolah demi uang bulanan yang mahal yang terhindar dari progran BOS lalu orang tua bangga dalam predikat Internasional yang hampa. Lalu anak murid akan menjadi apa nantinya ? SBI ini harus segera ditutup oleh Pemerintah sebelum kondisinya sangat parah bagi anak didik kita kedepan.
nida
Apr 28, 2010 @ 03:19:57
menarik sekali membaca tulisan bapak ini, cuma menurut saya SBI ini agak gimanaaaa gitu, maaf ya saya memang bukan orang yg berpendidikan tinggi jadi nilai komentar saya pun sesuai dengan pengetahuan saya, menurut saya SBI ini akan mencetak anak anak bangsa yg pintar TAPI sombong blagu dsb yg negatif, yg saya tau sekolah di Jepang itu semua sama jadi kalou satu orang pintar semuapun pintar adapun yg pintarnya diatas rata rata atou jenius, itu karna muridnya rajin belajar dan memang keturunannya jenius kali ya, sementara di indonesia yang pintar tambah pintar yang bodoh tambah bodoh karna seperti yg Bapak bilang kalou sekolah bagus itu mahal, kalou di Jepang dari SD SMP dan SMA semua sama kecuali universitas nya ada yg favorit ada juga yg biasa tapi semua orang bisa masuk ke universitas favorit, kalou IQ nya tinggi tapi kalou soal biaya semua sama saja karena setiap mahasiswa rata rata mendapat beasiswa, saya berharap pemerintah Indonesia khususnya dan para guru bisa belajar dari Negara Negara maju salah satunya Jepang, kita semua juga tau Jepang itu cinta sekali sama Negaranya sendiri makanya orang jepang jarang yg bisa B Inggris, mereka berfikir gak perlu, kaloupun ada yg bisa logatnya gak dapet seperti yang Bapak tuliskan diatas, maaf ya pak kalou komentar saya kurang mendukung, tapi saya juga cinta Indonesia , jadi apapun yg dilakukan rakyat Indonesia selama itu positif saya senang sekali apalagi untuk perubahan Negara dan mengharumkan nama Bangsa, sukses terus ya pak dalam mencari ide untuk meningkatkan mutu bangsa tanpa banyak kritikan …………..
Wanda
Mei 07, 2010 @ 12:03:42
Melanjutkan tawa saya yang sangat menggelikan ini, seharusnya Pemerintah cq. Kementerian Pendidikan menutup program SBI ini karena program SBI adalah akal-akalan para Dinas Pendidikan didaerah dan para Kepala Sekolah dan petinggi KEMENDIKNAS menjadikan SBI sebagai PROYEK untuk mengeduk kekayaan yang dibagi-bagi secara sistemik. Perhatikan Dana BOS yang direkayasa Dinas Pendidikan bersama para Kepala Sekolah untuk manipulasi dana BOS. SBI sudah tidak relevan lagi dengan dicabutnya UU BHP bagaimana mungkin di PT sudah menerapkan Non-Highcost Education sedangkan di SMP dan SMA masih getol menrapkan Highcost Education. Kalau SBI masih saja dilanjutkan saya menyatakan ini adalah sebagai KETOLOLAN NASIONAL yang dijalankan KEMENDIKNAS RI. Hasilnya nanti adalah kehancuran Pendidikan Nasional dan yang harus bertanggung jawab adalah MENTERI PENDIDIKAN.