Bendera india, Wekipedia.org

Bendera india, Wekipedia.org

Saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat saya akan mengunjungi India. Ada urusan apa saya dengan negaranya Shahrukh Khan tersebut? Tapi insya Allah lusa ini saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengunjungi negaranya Mahatma Gandhi, tokoh yang sangat saya kagumi itu. Bersama teman-teman dari STIKOM Bali kami akan mengunjungi New Delhi dan Bangalore mulai tanggal 8 s/d 14 Januari ini. India sendiri adalah negara republik dengan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia setelah China dengan populasi sebesar 1 milyar lebih (1,150,000,000 jiwa). Meski demikian diperkirakan India akan menyalip China dalam soal jumlah penduduk pada tahun 2030 (By 2030, the population of India will be largest in the world estimated to be around 1.53 billion. http://www.indiaonlinepages.com/population/india-population.html). Selain itu India adalah negara terbesar ketujuh berdasarkan ukuran wilayah geografis. Ekonomi India adalah terbesar keempat di dunia dalam PDB, diukur dari segi paritas daya beli (PPP), dan salah satu pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. India, negara dengan sistem demokrasi liberal terbesar di dunia, juga telah muncul sebagai kekuatan regional yang penting, memiliki kekuatan militer terbesar dan memiliki kemampuan senjata nuklir. (http://id.wikipedia.org/wiki/India). Jadi dalam ukuran apa pun India itu raksasa (raksasa yang suka menyanyi dan menari India…!)

New Delhi adalah ibukota India dengan penduduk sebanyak 10 juta orang dan merupakan sebuah kota yang metropolis. Bangalore sendiri adalah ‘Silicon Valley’nya India. Di New Delhi dan Bangalore kami akan mengunjungi beberapa sekolah IT terkenal untuk studi banding. Selain itu kami juga ingin memenuhi undangan dari Pak Son Kuswadi, Atase Pendidikan di India. Setiap bertemu beliau selalu mengajak kami untuk datang mengunjunginya di India sana. ‘Mbok ya dolan ke India gitu lho!’ kata beliau. ‘Insya Allah…!’ begitu jawab kami selalu. Akhirnya lama-lama kami jadi kepingin juga untuk datang. Ono opone sih India itu, kok Pak Son krasan di sana? (Ya betahlah. Lha wong memang kerja di sana)

Soal film dan lagu India jelas kelas dunia. Katanya industri perfilman di India itu bahkan jauh lebih produktif ketimbang Hollywood, sehingga mendapat julukan Bollywood. Dalam setahun India bisa memproduksi 500 film…! Jadi dalam sehari bisa lebih dari 1 film selesai dibuat. Bayangkan betapa produktifnya industri perfilman India. Bikin film udah kayak bikin onde-onde saja. Mutu filmnya juga sudah jauh lebih hebat daripada negara-negara lain, apalagi kalau dibandingkan dengan Indonesia. Favorit saya adalah film Slumdog Millionaire. Slumdog Millionaire adalah sebuah film yang disutradarai oleh Danny Boyle. Film ini berhasil meraih empat Golden Globes [1] dan delapan piala oscar[2], termasuk penghargaan Film Terbaik dan Sutradara Terbaik[3]. Bercerita tentang seorang anak miskin yang besar di lingkungan kumuh (slum) kota Mumbai yang mendadak menjadi kaya setelah memenangkan kuis Who Wants To Be A Millionaire versi India. Sungguh sebuah film yang menggigit!

Jelas India itu raksasa dalam industri perfilman lha wong perfilman di Indonesia saja dikuasai oleh keluarga Punjabi yang keturunan India tersebut kok. Multivision Plus yang sinetronnya mengisi semua saluran televisi nasional adalah sebuah perusahaan produksi film India yang didirikan tahun 1970 di Bombay. Multivision didirikan oleh Raam Punjabipada tahun 1990 di Jakarta dengan modal 250 juta. (Sebetulnya gak banyak-banyak amat modalnya ya) Perfilman Indonesia sendiri hanya bisa produktif kalau bikin film ‘Pocong and the gang’. Kalau bikin film serius kayak ‘Sang Pencerah’ malah rugi. Dasar generasi pocong kita ini….!

Tapi kami ke sana bukan untuk nonton film India atau mau ketemu sama Shahrukh Khan (apalagi mau ketemu sama Mahatma Gandhi…!). Kalau cuma mau nonton film India kami bisa lakukan di bioskop Megahria atau di mana saja. Kami datang ke India untuk melihat sistem pendidikan IT-nya. India terkenal sebagai negara dengan pendidikan IT paling terkemuka di dunia dan programmer lulusan India katanya mengisi lowongan di perusahaan IT terkemuka di seluruh dunia. Mereka sekarang merajai dunia teknologi informasi dunia. Jadi di setiap perusahaan besar dunia selalu ada tenaga ahli IT dari India mengisi posisi pentingnya. Apa rahasianya? Ya itu yang mau kami ketahui. (Sebenarnya sih bisa saja dicari lewat Google. Tapi edan po…?! Wong diajak mlaku-mlaku gratis kok malah nggugel…! Yo nggugelo dewe kono nek gelem). Jadi begitu diajak untuk berkunjung ke India saya langsung menjawab,”Prun”. ‘Prun’ ini versi jawaban cepat dari ‘purun’ (mau atau bersedia). Saking cepatnya menjawab sehingga menjadi ‘prun’. Kuatirnya si pengajak membatalkan niatnya mengajak saya karena saya lambat menjawab. Tak lupa saya mendaftarkan nama istri saya untuk ikut juga. Tidak marem rasanya bepergian jauh tanpa ditemani istri. Katanya suami yang baik itu selalu mengajak istrinya bepergian (opo maneh yen dibayari toh Kang..?! Pancen cerdas kowe..!)

Selain pendidikan di bidang IT, India juga terkenal dengan mutu pendidikannya yang tinggi. Sarana prasarananya pas-pasan tapi mutu pendidikannya tinggi. Aneh toh…! Biasanya kalau di negara kita kan untuk bisa unggul mesti berstatus RSBI, nginternasional…! Mesti pakai laptop, proyektor, AC, sistem Cambridge, bilingual, ISO 9000 mbuh piro, dll (Tapi ternyata hasil UNAS-nya kalah dengan yang ra-ISO). Dengar-dengar di India sekolah itu sarana prasarananya sederhana saja tapi mutu guru dan proses pendidikannya jauh lebih bermutu dibandingkan dengan Indonesia. Mau adu bahasa Inggris sama siswa India? Lha wong bahasa Inggris itu bahasa kedua bagi mereka. Ya mesti ngecipris bahasa Inggrisnya. Tapi itu kan kata orang….! Kita mesti lihat sendiri dulu ke India agar faham. Makanya kami perlu ke sana.

भारत, हम यहाँ आ जाओ (InIndia, here we come) Acha…! Acha…!

Urusan visa ternyata tidak ada masalah karena bisa pakai VOA (Visa On Arrival). Kita tinggal terbang ke sana dan isi formulir untuk VOA dan tempeli foto 4 X 6, beres! Urusan mata uang juga gak perlu risau. Meski tidak ada money changer yang bisa memberi pelayanan penukaran Rupee (mata uang India) di Jakarta atau Denpasar tapi katanya dolar Amerika is fully accepted. Jadi cukup bawa US dolar saja (Sst…! Katanya kami akan disangoni juga. Wuenak pol toh…!).

Kami pikir everything is OK ketika tiba-tiba ada informasi bahwa ternyata di India (khususnya New Delhi dan Bangalore yang akan kami kunjungi) sedang musim dingin. Musim dingin…?! Sumpah selama ini saya pikir India itu cuacanya kayak Indonesia saja. (Lha wong India aja lho kok ya pakai empat musim segala toh…!). Lagipula Januari adalah puncak dari musim dingin. Saya cek di internet ternyata cuaca di New Delhi bisa berkisar antara 4 s/d 21 derajat Celsius. Mateng kon…!

Meski dulu saya suka sekali mendaki gunung tapi cuaca dingin tidak pernah saya sukai. Manusia ‘berdarah panas’ seperti saya ini paling tidak tahan dengan hawa dingin. Pernah sekali saya ke Bromo dan cuacanya sangat dingin dan saya pikir sudah 0 derajat Celsius saking dinginnya. Begitu saya cek ternyata hanya 10 derajat Celsius. Halaah…! 10 derajat Celsius saja sudah bikin saya hampir mati beku apalagi kalau 0 derajat Celsius…! Jadi membayangkan diri saya akan ke daerah yang dinginnya bisa mencapai 4 derajat Celsius sungguh membuat saya makan tak enak tidur tak nyenyak. Will I survive…?! Lha wong AC di kamar tidur kami saja saya setel di suhu 25 derajat Celsius dan kalau malam kami matikan karena kedinginan. Lha ini kok malah 4 s/d 21 derajat Celsius…! Hwarakadah…!

Akhirnya kami terpaksa melempar pakaian santai yang telah kami persiapkan di koper dan segera mencari pakaian musim dingin di FO yang menjualnya. Terpaksa kami membeli segala perlengkapan pakaian untuk musim dingin seperti long john, jaket tebal berbulu, sarung tangan, kaos kaki tebal, sweater, tutup kepala, dan ubo rampenya. Bagi yang tidak tahu apa itu long john, itu adalah baju khusus untuk musim dingin yang panjang dan ketat menutupi seluruh tubuh dan tungkai. Jadi seperti baju senam lengan panjang yang ketat di tubuh. Kalau tidak pakai long john di musim dingin maka kita akan menderita kedinginan meski sudah pakai baju tumpuk-tumpuk. Saya sebetulnya berharap bisa mendapatkan kaos kutang sakti Ontokesumanya Adipati Karna yang kebal semua senjata tersebut. Lha kalau kebal senjata apa pun mestinya kalau cuma hawa dingin ya cemen toh. Tapi ternyata tokonya tidak menjualnya. Apa boleh buat …, seadanya sajalah! Karena pakaian tersebut tebal-tebal maka kopor besar yang kami bawa tidak bisa memuatnya. Lha kemasukan dua jaket musim dingin saja kok ya langsung penuh toh! Padahal biasanya kami bepergian ke mana-mana cukup dengan satu kopor berdua. Lha ini belum berangkat saja sudah tidak cukup. Apalagi kalau nanti istri saya kumat hobi belanjanya di pasar New Delhi sana. Bisa-bisa kain sari satu toko diboyong semua. Sudah jelas tidak cukup satu kopor berdua. Keputusannya : beli kopor baru di Denpasar. Kami memang akan berangkat dari Denpasar via Kuala Lumpur nantinya.

Masalah kedua adalah hotel.

Karena kami tidak ingin menderita oleh cuaca dingin maka kami berharap agar hotel kami memiliki fasilitas penghangat ruangan. Kami sebenarnya sudah pesan kamar tapi setelah kami cek di inernet ternyata ratingnya cuma 4,6/10. Berarti bukan hotel yang ‘recommended’ (kalau nilai UN berarti gak lulus). Ciloko kan…?!

Ketimbang menderita maka kami putuskan untuk upgrade hotel kami ke Hilton. Entah berapa ratingnya lha wong bukan saya yang ngecek. Tapi yang jelas lebih mahal. Saya sih tenang-tenang saja lha wong dibayari. Mbok mau diupgrade ke hotel bintang tujuh diamonds are forever ya monggo saja. Mudah-mudahan sponsor kami tidak sambat ngaruworo (mengeluh panjang pendek).

Agar tidak shock setibanya di New Delhi dan merasa seperti masuk kulkas tidak bisa keluar maka saya dan istri berlatih agar lebih tahan dingin. Caranya dengan menyetel AC kamar lebih dingin dan lebih lama. Kami setel ke 22 derajat Celsius dan sebisa-bisanya tidak dimatikan kalau tengah malam.

Eeh….! Lha kok ya menggigil toh kami malamnya. Akhirnya ya AC tetap kami matikan agar kami bisa tidur nyenyak. Latihan kami gagal total persis seperti program RSBI-nya Kemdikbud. Wis urusan India biar dihadapi di India saja…! Acha…! Acha…!

Surabaya, 6 Januari 2012

Salam
Satria Dharma