Dua puluh lima tahun yang lalu ketika saya masih memimpin bimbingan belajar Airlangga Student Group (ASG) saya memperhatikan bahwa kegagalan utama siswa dalam memperoleh nilai tinggi agar bisa diterima di SMA atau Perti pilihan mereka adalah karena mereka malas untuk berlatih soal-soal. Padahal kalau mereka mau rajin melatih diri dalam mengerjakan soal-soal ujian apa pun maka boleh dikata bahwa mereka pasti akan dapat lolos dalam ujian. Saya seringkali melihat anak-anak pintar yang gagal karena malas dan anak-anak yang tergolong rendah prestasinya di sekolah justru berhasil karena mau menerapkan strategi berlatih…berlatih… dan berlatih….! Saya katakan pada mereka bahwa seorang atlit tinju yang akan bertanding di ring tinju selama 10 ronde minimal harus telah berlatih 100 ronde. Itu belum termasuk latihan lari, skipping, punching, dll. Nah, bayangkan jika kita mesti menyelesaikan 40 soal matematika, misalnya. Berapa ratus soal matematika yang harus kita lahap sebelumnya, termasuk membaca teori dan menghafal penggunaan rumusnya? Saya bahkan wajibkan mereka untuk menyelesaikan minimal 1000 soal bahasa Inggris (karena saya mengajar bahasa Inggris) dan kalau bisa ya 2000 soal. Lahap semua soal dan rasakan betapa mudahnya soal-soal tersebut jika kita telah berlatih sebanyak mungkin soal. Saya tidak sekedar berteori tapi sekaligus membuktikannya.

Untuk membuktikannya saya ikut tes masuk program D3 Akuntansi di Unair yang masih membolehkan sampai usia tertentu untuk ikut tes. Pesertanya sangat banyak dan seleksinya cukup ketat. Ketika ujian bahasa Inggris saya hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit untuk menyelesaikannya. Soal-soal tersebut terasa begitu mudahnya dan bahkan saya bisa melihat adanya soal yang salah dan semestinya dianulir. Ketika lembar jawaban dan soal segera saya kumpulkan petugas pengawasnya heran dan mengira saya mau ke toilet. Ia bilang soal dan lembar jawaban tidak perlu diserahkan jika sekedar mau ke toilet. Tapi ketika saya jelaskan bahwa saya sudah selesai ia agak tidak percaya. Tapi setelah ia memeriksanya barulah ia percaya meski ekspresinya masih heran. You bet! Saya lulus tes tersebut meski soal matematikanya hanya benar 20% menurut perhitungan saya.

Jadi latihan terus menerus memang dibutuhkan untuk berhasil dalam bidang apa saja. Saya sendiri sudah menggembleng diri saya untuk tidak bermalas-malasan dalam hidup. Mungkin ini hikmah dari kehidupan yang serba berkekurangan dulu sehingga saya bertekad untuk bekerja lebih keras daripada orang lain. Saya menyadari kekurangan saya sehingga harus saya tutupi dengan usaha yang lebih keras daripada orang yang lebih baik potensinya daripada saya.
.
Untuk membangkitkan semangat siswa bimbingan belajar maka saya berinisiatif untuk membuat sebuah stiker berukuran cukup besar yang berbunyi : MALAS ADALAH MUSUH UTAMA SAYA dan saya bagikan pada semua siswa dan minta mereka untuk memasangnya di kamar mereka. Dengan demikian saya berharap agar mereka selalu terpacu untuk meninggalkan rasa malas mereka setiap membaca stiker tersebut..
Salah seorang adik saya yang juga ikut bimbingan belajar pada saat itu suatu saat bercerita bahwa stiker itu membuatnya jengkel pada saya. Ia merasa bahwa stiker tersebut ditujukan secara khusus padanya karena saya tahu betapa malasnya ia di rumah. Saya selalu mengatakan kepadanya bahwa ia HANYA bisa berhasil jika ia mau meninggalkan sikap malasnya tersebut. Itu sebabnya ia pikir stiker tersebut too personal! Tapi stiker tersebut juga memacunya untuk berhasil. Ia diterima di PTN pilihannya dan lulus dari situ setelah hampir DO.
Malas memang seharusnya menjadi musuh utama kita. Sampai sekarang saya selalu menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan dan pekerjaan dan bingung jika ternyata semua pekerjaan sudah tertangani. I need to do something everytime, bahkan ketika berlibur! Jika saya berlibur dan menginap di rumah mertua saya selalu cari-cari sesuatu untuk saya kerjakan setiap pagi ketika istri saya ngariung bersama orang tua dan adik-adiknya ngobrol macam-macam. Mereka lantas menyindir istri saya,:”Coba lihat itu suamimu. Dia sedang kebingungan cari-cari pekerjaan.” Istri saya cuma senyum-senyum saja disindir begitu.. Mereka tahu bahwa saya tidak suka berlama-lama ‘klosetan’ di tikar ramai-ramai ngobrol kesana kemari. Saya segera mencari sesuatu untuk saya kerjakan. Tapi sebetulnya semangat itu juga yang membuat saya diterima oleh mertua ketika melamar anak mereka.
Ketika saya datang untuk memperkenalkan diri dan sekaligus melamar anak mereka sendirian kedua mertua saya langsung melihat ‘something in my eyes’ yang membuat mereka berkata pada anak mereka kemudian,:” Nduk! Bapak percaya calonmu itu pasti bisa nguripi kamu di mana pun kalian tinggal.Orang seperti dia bisa hidup dimana saja.” I was flattered. of course.

Apa yang saya lakukan di rumah mertua ketika liburan? Minimal saya akan berusaha mencuci sendiri baju-baju saya, menurunkan cucian kering dan melipatnya, menyetrika baju-baju saya dan anak-anak, menyapu, memperbaiki ini dan itu yang saya bisa, membuang sampah dan barang-barang yang tidak terpakai, dll. Ada banyak pekerjaan rumah yang bisa kita tangani.Kalau sudah tak ada yang perlu saya tangani maka saya membaca koran atau buku. Itu sebabnya saya terikat dengan buku karena ia merupakan ‘a killing time job’ yang saya jadikan seremoni. Nonton TV? Itu hal terakhir yang akan saya lakukan kalau benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan. TV and I do not match.

Saya menganggap TV sebagai salah satu bahaya besar yang harus dihindari sebisa mungkin. TV adalah penyebab dan penumbuh sikap malas pada masyarakat kita. Saya hanya menonton TV jika saya memerlukan informasi tertentu dan untuk hiburan sesekali. Hiburan bagi saya adalah tayangan Discovery Channel, National Geographic, HBO, Animal Planet, dan sejenisnya. Kami beruntung bisa berlangganan TV Kabel sehingga bisa menonton tayangan-tayangan bermutu. Saya tidak mengenal siapa selebriti Indonesia saat ini dan kalau saya tahu maka itu mungkin saya baca dari milis. Menurut saya TV harus diperlakukan sebagai sesuatu yang berbahaya dan kalau tidak pandai memanfaatkannya maka akan merusak kita. Merusak? Ya!

Saya banyak melihat masyarakat dan keluarga yang terjerat habis oleh TV dan telah menjadi budah TV. Mereka menonton TV sepanjang hari dan terbius tanpa sadar. TV telah menjadi berhala bagi mereka. Saya beranggapan bahwa setiap keluarga mesti diajari bagaimana memperlakukan TV dan bahkan saya bermimpi bahwa para ulama dan pemuka agama turun tangan untuk mengajari masyarakat agar tidak menjadikan TV sebagai ‘berhala’ baru. Para da’i dan ulama harus memiliki manual tentang bagaimana mengingatkan keluarga Islam tentang bahaya tayangan TV dan bagaima seharusnya setiap umat islam memperlakukan tayangan TV. Too much may be.

Di rumah TV saya letakkan di kamar saya dan anak-anak hanya boleh menonton hari Sabtu dan Minggu. Itu juga terbatas pada tontonan anak-anak. Sinetron dan telenovela adalah sampah yang tidak kami perkenankan untuk main di TV kami. Alhamdulillah anak-anak kami tidak menjadi budak TV meskipun ketika berlibur di rumah keluarga yang TV-nya live 24 hours. TV telah menjadi ‘pusat kegiatan’sebagian besar masyarakat dan mereka benar-benar terbius oleh tayangan tersebut. Saya ngeri melihat keluarga dan masyarakat yang telah menjadi budak TV tersebut. Keluarga dan masyarakat yang telah terjerat oleh TV cenderung menjadi pemalas, tidak produktif, tidak kritis, dan juga tidak disiplin (dalam waktu utamanya).. Semua hal yang menjadikan bangsa ini terpuruk.

Kenapa saya tiba-tiba menulis ini? Kebetulan saya menemukan kembali stiker tersebut ketika bongkar-bongkar lemari tua.. Stiker itu sudah lusuh tapi huruf-hurufnya masih jelas dan menyolok. “MALAS ADALAH MUSUH UTAMA SAYA”. Seketika nostalgia menyergap saya Alangkah cepatnya waktu berlalu! Begitu banyak hal terjadi dan berubah setelah hampir seperempat abad berlalu tapi pesan pada stiker tersebut masih tetap aktual tanpa harus berubah satu huruf pun!

Seandainya saya masih di bimbingan belajar maka saya mungkin akan mencetak kembali stiker tersebut dan mendorong siswa-siswa saya untuk melawan rasa malas mereka untuk merebut sukses di masa depan mereka.

Surabaya, 21 Juli 2008
Satria Dharma