Saya akan melanjutkan obrolan saya sebelumnya pada topik “Hukum Tuhan yang Berubah”. Tapi kali ini akan saya bikin dalam topik tersendiri, yaitu “Perbudakan dalam Islam”. Kebetulan saya sedang berada di perut Batavia dalam perjalanan pulang dari Manado ke Balikpapan dan punya waktu satu jam lebih sebelum mendarat.

Hukum atau syariat Islam tentang perbudakan ini menurut saya sangat menarik. Jelas sekali bahwa Tuhan ingin agar perbudakan itu dihapus dalam kehidupan karena perbudakan itu sungguh tidak sesuai dengan prikemanusiaan. Tapi kita tidak akan menemukan satu pun teks dalam AlQuran yang secara jelas menyatakan bahwa perbudakan harus dihapuskan. Pendekatan yang digunakannya berbeda dengan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah khamr, poligami, atau riba, misalnya.

Sejarah menunjukkan bahwa manusia di jaman dahulu melakukan perbudakan dengan berbagai cara dan menganggap budaknya tersebut sebagai sebuah ‘property’ yang bisa diperjualbelikan dan diperlakukan sebagai layaknya barang dan hal tersebut adalah LEGAL dan dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Tentu saja saat ini manusia masih mempraktekkan perbudakan modern yang bisa tidak kalah kejam dan nistanya dengan jaman dahulu. Tapi itu sekarang merupakan tindakan yang ILLEGAL alias melanggar hukum. Barangsiapa yang melakukannya maka akan mendapat hukuman (hukum negara) dan hukuman moral dari masyarakat sebagai orang yang tidak beradab. Kalau dulu seorang tuan sah-sah saja menjemur budaknya di atas batu sampai mati dan tidak ada hukum apa pun yang dilanggarnya maka kalau sekarang Anda menyetrika pembantu Anda maka itu adalah tindakan pelanggaran hukum yang sangat serius dan Anda bisa mendapatkan hukuman yang berat.

Perbudakan yang dipraktekkan oleh umat manusia adalah tindakan yang buruk dan nista di mata Tuhan. Oleh sebab itu maka Tuhan ingin menghapuskannya dengan menurunkan nabi-nabinya. Meski demikian Tuhan tidak serta merta menghapuskannya dalam sekejap karena perbudakan adalah praktek yang berlaku di masyarakat jaman dahulu sejak berabad-abad lamanya dan sebuah aturan atau hukum mesti disosialisasikan dan dijalankan secara bertahap sedikit demi sedikit sehingga hukum dan aturan tersebut dapat dipahami, diterima dan dilaksanakan oleh manusia. Hukum tentang larangan minuman yang memabukkan dalam Islam yang saya jelaskan dalam tulisan saya sebelumnya menunjukkan betapa Tuhan melakukan sosialisasi dan tahapan-tahapan dalam penerapannya. Hukum itu tumbuh dan diterima secara hertahap dalam masyarakat.

Islam adalah agama yang secara jelas menentang perbudakan dan juga secara nyata melakukan upaya-upaya kongkrit dalam menghapusnya. Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengecam tindakan kesewenang-wenangan antar manusia dan ada banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat Islam untuk membebaskan budak-budak yang mereka miliki sebagai ‘barter’ untuk menghapuskan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa lainnya. Tuhan memang tidak frontal dan main kuasa begitu saja dalam menerapkan aturannya karena Tuhan Maha Tahu bahwa manusia adalah manusia dan manusia butuh waktu untuk memahami dan menerima sebuah aturan yang sebelumnya tidak ada! Malaikat lebih cepat untuk menerima perintah atau aturan dari Tuhan meski mereka juga bisa mempertanyakan ‘kebijakan’ yang diambil oleh Tuhan. Baca buku “Bahkan Malaikat pun Bertanya” yang ditulis dengan sangat apiknya oleh Jeffrey Lang. Hanya iblis yang langsung menolak hukum, aturan atau perintah Tuhan secara langsung dan terang-terangan.

Adapun ayat-ayat AlQur’an yang mendorong umat Islam untuk membebaskan perbudakan dapat dilihat pada ayat-ayat berikut.

… dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman … (QS An-Nisa : 92)

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak… (QS Al-Maidah : 89)

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka hendaklah memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur… (QS. AL-Mujadilah : 3)

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan , Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? melepaskan budak dari perbudakan… (QS Al-Balad : 10-13)

Bahkan dalam pembagian harta zakat, budak termasuk yang berhak mendapatkannya. Harta itu dapat digunakannnya untuk menebus dirinya dari perbudakan.

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60).

Al-Quran Al-Karim juga memerintahkan untuk memberikan kesempatan sebear-besarnya kepada budak yang ingin menebus dirinya dengna mencicil harga dirinya.

…Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka , jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu . Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang sesudah mereka dipaksa itu. (QS. An-nur : 33 )

Jadi perbudakan memang benar-benar serius untuk dihapuskan dengan diturunkannya agama Islam tersebut. Islam mengajarkan bahwa membebaskan budak adalah sebuah kebajikan yang bernilai tinggi. Dan Islam tidak hanya bicara secara teori tapi langsung dipraktekkan oleh umatnya pada saat itu. Mengawini budak yang dimiliki adalah salah satu cara Islam untuk membebaskan status seorang budak menjadi setara dengan tuannya. Jadi mohon agar jangan lagi ada umat Islam yang justru ‘memperbudak’ istrinya saat ini! Itu bertentangan dengan semangat Al-Qur’an.

Penting untuk dipahami bahwa pandangan Islam ini amat sangat revolusioner untuk jaman tersebut. Islam datang pada 14 abad yang lalu dan Islam sudah mengenalkan konsep kesetaraan manusia. Itu juga sebabnya mengapa para bangsawan Quraisy sangat menentang Islam tapi sebaliknya sangat diterima oleh para kaum marginal. Konsep ini kalau Anda pikirkan dalam-dalam maka akan menimbulkan rasa kagum yang luar biasa sehingga mau tidak mau Anda akan mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah manusia yang sangat revolusioner yang tidak ada bandingannya dalam sejarah. Beliau adalah kekaguman yang tiada taranya dan tidak ada habis-habisnya. Kalau tidak percaya maka coba bandingkan ini dengan apa yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin terhebat bangsa Amerika yang baru memahami masalah kesetaraan umat manusia ini pada abad 17. Islam telah memahami dan mempraktekkannya belasan abad sebelumnya. Bahkan bangsa Amerika perlu mengalami perang saudara selama bertahun-tahun untuk dapat mengenalkan konsep ini di antara mereka. Itu pun mereka masih butuh ratusan tahun untuk dapat mempraktekkan kesamaan hak antara kulit putih dan hitam yang dengan mudahnya dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dengan memberikan kesamaan hak antara Umar, yang merupakan bangsawan Quraisy, dengan Bilal, seorang bekas budak berkulit hitam. Islam samasekali tidak mengalami sejarah yang berdarah-darah untuk mengenalkan konsep dan sekaligus mengamalkannya secara sempurna dalam jangka waktu begitu singkat. Sebaliknya bangsa Amerika masih mempraktekkan segregasi (pemisahan antara warga kulit putih dan kulit hitam) pada abad 20. Para pejuang hak azasi manusia perlu untuk belajar pada ‘The Master of Master Pejuang Hak Azasi Manusia” yang begitu mulia ini.

Jelas sekali bahwa agama Islam sangat menentang perbudakan dan Nabi Muhammad telah berupaya untuk membebaskan manusia dari perbudakan sejak saat itu. Namun sebagaimana dalam masalah khamr yang diberlakukan secara bertahap maka kita juga bisa melihat bagaimana ayat-ayat al-Qur’an periode Mekkah yang masih membolehkan dan mentolerir perbudakan, misalnya tuan lelaki dizinkan “menggauli atau mengumpuli” budak-budak wanita yang mereka miliki. Al-Quran tidak menggunakan sistem pengharaman secara eksplisit misalnya teks yang berbunyi “perbudakan itu haram dan siapa yang punya budak akan berdosa”. Kita tidak mendapatkan nash yang berbunyi demikian. Tapi semangat yang dibawakannya adalah pembebasan perbudakan.

Jadi kalau kita membaca hanya teksnya saja maka kita akan menemukan dalam Al-Quran ayat-ayat yang membolehkan umat Islam menjalankan perbudakan pada saat sistem perbudakan itu memang ada sebagai realitas sosial. Meski demikian itu sama sekali tidak bermakna bahwa Islam menganjurkan atau mempertahankan berlakunya perbudakan. Hal itu hanya berlaku bila perbudakan itu ada sebagai realitas sosial yang berlaku pada suatu tempat dan zaman tertentu.

Jadi kalau kita hanya bersandarkan pada teks semata dan tidak paham konteks yang ada pada saat itu maka hal tersebut memang terasa aneh dan tidak sesuai dengan pandangan kita saat ini. Kita hidup di jaman yang berbeda lebih dari seribu tahun dengan konteks di mana perbudakan masih eksis dan kalau sampai kita membaca ayat Al-Quran yang seolah menerima konsep perbudakan, bahkan pemiliknya sampai boleh menyetubuhinya, tentu saja kita akan merasa sangat heran. Bahkan membaca dan memahami perbudakan secara tekstual saja akan membawa kita pada pemahaman yang sebaliknya bahwa perbudakan itu hendak ‘diabadikan’ dalam AlQuran karena ada tercantum dalam teks AlQuran dan umat Islam juga masih mempraktekkannya pada saat itu. Hal ini sama dengan jika kita membaca ayat ketika khamr masih dibolehkan tanpa melihat konteks dan sejarahnya. Kita akan mengira bahwa minum khamr dibolehkan.
Perbudakan dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami. Seperti halnya poligami, perbudakan juga merupakan sebuah realitas sosial yang ada pada semua bangsa. Perbudakan dan poligami lambat laun akan menjadi terhapus seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban manusia, meningkatnya kesetaraan antara ras dan gender serta dengan semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap sesamanya. Jadi meski dalam teksnya Al-Quran tidak secara nyata melarang perbudakan tapi pada hakikatnya upaya penghapusan perbudakan telah dijalankan dengan sangat serius pada saat Al-Qur’an diturunkan. Jika saat ini Konvensi Jenewa tentang masalah hak azasi manusia telah disepakati oleh semua bangsa maka sebenarnya gerakan ini dipelopori oleh Islam sejak belasan abad yang lalu dan dunia berhutang pada Islam.

Satria Dharma

Balikpapan, 20 November 2009