Pernah dengar Chaos Theory? Katanya sih kepak sayap seekor kupu-kupu di belahan dunia sini bisa menjadi gelombang badai di belahan dunia yang lain. Apa dan bagaimana sebenarnya teori tersebut saya sendiri tidak paham. Tapi pagi ini saya melihat betapa dahsyatnya ‘gelombang badai’ yang dihasilkan oleh ‘kepakan sayap kupu-kupu’ seorang Ibu Muslimah, seorang guru SD di sudut terpencil Belitong yang dituangkan secara imajinatif oleh Andrea Hirata dengan novel Laskar Pelanginya. Dahsyat! ‘Kepak sayap kupu-kupu’ Ibu Muslimah tersebut telah membuat gelombang badai dan kegemparan di seantero Indonesia setelah ‘kepakan’ pertamanya ia lakukan belasan tahun yang lalu di sebuah desa kecil bernama Gantong, Belitong, Siapa yang tahu bahwa kepak lemah seekor kupu-kupu di sebuah sudut dunia yang tidak kita kenal, dan mungkin samasekali tidak signifikan bagi kita, dalam jangka waktu puluhan tahun kemudian bisa menjadi badai taifun yang melanda dahsyat?


Pagi ini saya mendapat undangan untuk menonton pemutaran film “Laskar Pelangi” di Megablitz Cineplex, Grand Indonesia. Undangan itu datang dari Klub Guru yang diajak nonton gratis oleh Pertamina Foundation, produser film tersebut. Ada hampir dua ratus guru dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang tergabung dalam Klub Guru Jabodetabek yang hadir dalam pemutaran film tersebut. Bersama para guru tersebut datang juga sekitar 150-an siswa dari yayasan Al-Ittikon dari Kapuk Muara. Tak ada yang lebih pantas untuk menonton film ini selain para guru dan murid sekolah pinggiran. Film ini menurut saya didedikasikan bagi anak-anak miskin, terpencil, dan terpinggirkan yang tetap gigih untuk bersekolah dalam keadaan dan kondisi yang begitu mengenaskan macam Ikal, Lintang, Mahar, dan Harun. Film ini didedikasikan bagi guru dengan hati seluas samudra macam Ibu Muslimah yang pantang menyerah untuk mendidik
anak-anak yang dianggap tidak punya masa depan ini dalam situasi yang sangat minim. Film ini didedikasikan bagi kita yang ingin melihat Indonesia yang lebih baik melalui pendidikan yang berkualitas bagi setiap anak di sudut tersembunyi daerah mana pun.

Ketika tiba di Grand Indonesia saya melihat seratus lebih anak-anak usia SD dan SMP berpakaian pramuka antri dengan tertib dipandu oleh guru mereka untuk naik lift ke lantai 8 dimana film tersebut bakal diputar. Jelas sekali bahwa sebagian besar di antara mereka baru sekali itu masuk ke Grand Indonesia dan juga baru pertama kalinya naik lift! Para siswa dan juga sebagian guru terbelalak dan melongo melihat kemewahan gedung yang baru pertemakalinya mereka injak tersebut. Padahal mereka tidak tinggal di Belitong dan Grand Indonesia hanya berjarak belasan kilometer dari tempat tinggal mereka! Selain nonton gratis mereka juga mendapat minuman Coke dan camilan pop-corn serta merchandise dari Pertamina Foundation. Hari itu mereka merasakan nikmatnya dimanjakan oleh Pertamina Foundation berkat ‘kibasan sayap kupu-kupu’ Ibu Muslimah. Karena terinspirasi oleh kegigihan Ibu Muslimah, gurunya di pelosok Belitong itulah Andrea Hirata menulis buku Laskar Pelangi yang menjadi ‘best seller’ dan kemudian dijadikan film oleh Pertamina Foundation tersebut. Kegigihan Ibu Muslimah yang seolah merupakan ‘kibasan sayap kupu-kupu’ di pelosok Belitung bertahun-tahun yang lalu saat ini telah menjadi gelombang dahsyat yang mampu menggerakkan begitu banyak orang untuk melakukan berbagai kegiatan yang berskala badai taifun.

Film yang bertemakan pendidikan bagi semua orang (Education For All) ini diharapkan dapat membangkitkan semangat dan dedikasi para guru dalam mengajar dengan penuh keikhlasan dan juga membangkitkan semangat siswa untuk mengejar prestasi dan tetap bersekolah meski dalam keadaan yang paling minim sekali pun. Tokoh Ibu Muslimah dan Pak Arpan yang begitu gigih mendidik anak-anak di pedalaman Belitong meski dalam kondisi yang tidak layak benar-benar dapat menjadi teladan bagi semua guru Indonesia. Kecintaan mereka pada pendidikan dan kegigihan dan kesabaran mereka dalam bertahan dalam kesulitan diharapkan dapat menginspirasi para guru untuk juga melakukan hal yang sama demi masa depan bangsa dan negara.

Di luar saya mengobrol dengan Pak Sururi, Ketua Klub Guru Tangerang, yang dengan bersemangat menyampaikan keinginannya untuk mengajak para guru dan pengamat pendidikan membantu sebuah sekolah di daerahnya yang dianggapnya seperti kandang kambing, persis seperti sekolah dalam film Laskar Pelangi tersebut. Saya sampaikan bahwa ia perlu membentuk sebuah tim yang terdiri dari orang yang sungguh-sungguh mau bekerja keras membuat sebuah perubahan pada sekolah tersebut. Jika mereka dapat mengetuk hati para pengusaha dan orang kaya di sekitar mereka maka tidak mustahil kisah kesuksesan Laskar Pelangi dapat mereka lakukan juga. Pak Sururi bukan satu-satunya guru yang tergugah dan terinspirasi oleh ‘kepakan sayap kupu-kupu’ Andrea Hirata (atau mungkin dimulai oleh ‘kepakan’ awal Ibu Muslimah di sudut desa Gantong di Belitong) melalui buku dan film Laskar Pelanginya. Seorang teman yang tidak berhubungan dengan dunia pendidikan menyatakan keinginannya untuk membantu dunia pendidikan setelah membaca novel Laskar Pelangi ini. In anyway he can, katanya.

Saya baca bahwa meski baru beredar beberapa minggu penonton film ini telah mencapai rekor jumlah penonton untuk film Indonesia. Padahal film ini belum masuk ke kota-kota besar di seluruh Indonesia. Di semua bioskop yang memutar film ini penonton berjubel dan mereka harus antri untuk memperoleh tiket untuk pertunjukan pada hari berikutnya. Bayangkan betapa banyaknya orang yang terkena efek dari ‘kepakan sayap kupu-kupu’ tersebut.
Saya perlu memberi catatan khusus pada film ini karena meski film “Ayat-ayat Cinta” juga mendapat sambutan luar biasa dari penonton tapi film Laskar Pelangi ini punya pesan yang lebih jelas dan nyata. Pesannya adalah tentang pentingnya pendidikan bagi setiap anak dan betapa pendidikan bisa mengubah nasib seseorang. “Ayat-ayat Cinta” adalah film romansa dan mungkin tidak cocok bagi anak-anak. Ia juga mungkin tidak akan mendorong kita untuk melakukan sesuatu, yaitu berbagi dengan orang lain yang berada di bawah kita, khususnya di bidang pendidikan. Tapi Laskar Pelangi adalah film tentang pendidikan yang begitu universal sehingga bisa ditonton dan memberi inspirasi mulai dari anak-anak sekolah hingga para pejabat. Kisahnya begitu menyentuh sehingga anak saya yang suka cengengesan saja bilang bahwa ia begitu terharu sehingga meneteskan air mata ketika menonton film ini. Perlu kita ingat bahwa efek film Laskar Pelangi ini bukanlah keharuan romansa seperti di “Ayat-ayat Cinta” tapi keharuan akan nasib anak sekolah yang begitu menyentuh dan mendorong kita untuk melakukan sesuatu bagi pendidikan.

Kepakan sayap kupu-kupu tersebut telah menghasilkan gelombang angin yang luar biasa di sudut yang lain. Dan ini baru merupakan awal! Kalau sosok seperti Pak Guru Sururi saja mampu tersentuh nuraninya dan terinspirasi untuk melakukan sesuatu yang di luar pekerjaan rutinnya coba bayangkan jika yang menonton itu seorang gubernur atau konglomerat, umpamanya! Buku dan film Laskar Pelangi ini mampu menyentuh hati kecil kita dan mampu membangkitkan motivasi kita untuk berbuat lebih demi pendidikan bagi anak-anak di sekitar kita. Kita merasa tergugah dan merasa terdorong untuk melakukan perbuatan mulia yang sama sepreti yang dilakukan oleh Ibu Muslimah di Gantong, Belitong. Saat ini katanya pemerintah daerah Belitung telah berinisiatif untuk membuat program ”Wisata Laskar Pelangi” dengan obyek lokasi yang disebutkan dalam novel tersebut. Kabarnya sudah banyak orang yang tertarik untuk mengikuti program tersebut.

Saya sebenarnya sudah menonton film tersebut di Surabaya tapi saya ingin datang dan melihat suasana nonton bareng tersebut di Grand Indonesia. Gedung penuh sesak dengan anak-anak dan para guru. Sebagai undangan saya duduk didepan bersama para undangan lain di gedung bioskop mewah tersebut.Di deretan sebelah kiri saya duduk para pemeran film tersebut! Ada ‘Ikal’, ‘Lintang’, ‘A Ling’, dan lain-lain. Di sebelah kanan saya duduk Ir Achmad Rizali, calon Direktur Eksekutif Pertamina Foundation yang baru, yang mengundang saya untuk datang. Beliau sebelum ini adalah Ketua Klub Guru Jabodetabek. Sambil bergurau beliau berkata bahwa ia sama terbelalaknya dengan anak-anak SD Kapuk Muara tersebut ketika tiba di Grand Indonesia. Ini pertamakalinya beliau datang ke gedung mewah ini. Dan itu juga karena ‘kepakan sayap’ Ibu Muslimah!
Setelah saya amati ternyata para pemeran anak-anak tersebut dikomando oleh seorang wanita yang duduk persis di sebelah kiri saya. Ia menjadi semacam ‘ibu’ bagi mereka karena ialah yang memberi komando kapan mereka harus maju ke panggung atau melakukan ini itu. Ketika saya memperkenalkan diri, ia menyebutkan namanya, :”Cut Mini…”. Ternyata saya duduk di sebelah ’Ibu Muslimah’! yang kepakannya bakal dinikmati oleh para penonton pada hari ini.
Sambil berbasa-basi saya tanyakan padanya apakah ia tidak merasa terlalu cantik untuk memerankan sosok Ibu Muslimah ia menjawab,”Taklah. Ibu Muslimah itu pun seorang guru yang cantiklah.” dengan menggunakan logat Belitongnya sambil tertawa.
Ya, kepakan kecantikan hati Bu Muslimah yang digambarkan dalam novel dan film tersebutlah yang menyebabkan semua gelombang dan badai kebaikan dan keindahan yang saya lihat pada hari ini. Dahsyat dan mengharubiru!

Jakarta, 11 Oktober 2008
Satria Dharma